Aku, Kala, dan Pisau Kelu

8 2 0
                                    

                                F. Adinta

Ini sudah reinkarnasiku yang ketiga. Dua kali bereinkarnasi, ternyata nasibku sama saja. Seperti belitan benang kusut, susah dipintal dan tak berpangkal. Seperti tersesat dalam lingkar labirin tak berpintu yang menjengkelkan, tak peduli betapa lelah kakimu melangkah. Seakan Tuhan mencipta nasib hanya untuk memperolokku. Dan Dia mengerling puas, terbahak-bahak menonton nasib yang menyeret kaki mengulitiku.

Ini reinkarnasiku yang ketiga. Apa yang kau bayangkan dari samsara yang tak kunjung mengantarmu moksa? Apakah deraan derita yang diramu berkantong-kantong waktu? Atau cucuran cerita yang celoteh tak kenal capai? Tentu saja kau benar. Kau selalu benar, entahlah.

Kutatap gelas kosong yang dihembus kehampaan angin luka. Iramanya mendayu, mengisak pilu di kesunyian jiwa pendosa. Kuyup kuyu. Frasa tunggal dengan minimal pair yang merajut kesuraman semakin pekat, lalu akhirnya sama sekali lenyap. Kemana? Ke dasar jiwa yang penuh luka nanah berdarah-darah. Ke tempat dimana kejahatan tak lagi bermusuh kebajikan, tetapi kawan lama yang datang bersama merencanakan masa depan. Tak kau mengerti pun tak apa. Aku hanya mengulur waktu yang ingin menarikku kembali dalam kebengisannya. Jika kau belum pernah melihat waktu, kau takkan mengira jika ia punya banyak rupa. Sekalipun terdiri dari milyaran sel serupayang kau sebut detik, second atau tweede, ia punya kemampuan mewujud diri dalam beragam bentuk. Sungguh mengerikan, bagaimana bisa tubuh yang sama membelah diri berjuta kali serupa Amoeba, menjangkiti para janin dan mengancam mereka dengan deretan usia yang menakutkan, lalu mendampingi mereka lahir dan membawa mereka mencapai surga atau tewas mati di neraka. Ia sangat pilih kasih, kau tahu. Kau harus hati-hati dengannya.

Belum kau putuskan?

Aku tersentak. Kulempar mataku ke keramaian gaung arwah, mencoba menghindari tatapan-Nya, dan tatapan si muka dua di ujung sana.

Ini penawaran pertama dan terakhir.

Kulirik pisau dalam genggamanku. Kilatnya menatapku tajam.

Kenapa kau berikan padaku?

Kali ini Dia terdiam. Cukup lama.
,
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Aku takjub. Ia berbicara padaku seakan aku malaikat-Nya.
Aku berpikir keras, lalu dengan berat hati berniat mengubah penilaianku tentang-Nya. Baiklah, kali ini Dia mencoba berdamai. Kukatakan pada hatiku agar berhenti berdebat mengenai motif kebaikan-Nya dan hanya fokus menentukan pilihan. Ah, kenapa selalu pilihan, pilihan, dan pilihan? Apakah pilihan tidak bosan selalu membelah diri seperti waktudan seperti Amoeba? Pikiranku kembali berdebat. Tapi pilihan sudah berdiri di hadapanku, tersenyum manis dengan wajah bersemu merah kekanakan. Jangan tertipu. Kau tak tahu apa yang dia rencanakan di balik senyum gulanya itu. Hanya waktu, yang selalu kucurigai sebagai kekasihnya, yang paham makna kerut dan gurat wajah kekanakannya. Nah! Benar saja. Tertangkap basah! Mereka saling mengerling dengan tatapan aku-tahu-apa-yang-kau-pikirkan-sayang. Aku mendengus. Jika aku manusia, mungkin saat ini aku perlu berkuintal-kuintal glukosa untuk mencekoki otakku yang manja.
Tuhan berdeham. Aku semakin gelisah. Dan waktu, yang lusuh di teras malam menatapku tegang, berharap aku mengizinkannya terus hidup. Apakah aku akan membunuhnya? Aku tak tahu. Ia terlihat sangat khawatir. Tentu saja. Kami sedang bertukar kewenangan. Bertukar giliran menentukan nasib. Lagi-lagi, nasib ada di deretan muka-dua, yang tanpa sengaja pernah kulihat bercumbu mesra dengan pilihan pada suatu senja. Entah apa hubungan mereka. Cinta segitigakah? Aku tersenyum kecil.
Sungguh lucu, Tuhan memberiku dua pilihan: memaku waktu di detik ini, atau membiarkannya menari-nari bersamaku nantiatau menjajahku lagi? Aku berpikir. Waktu bermandi keringat. Aku bermandi pertimbangan.
Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Moksamu belum tercapai, suara ini lagi. Aku mendesah, lalu mengkerut sedetik kemudian. Tak bisa kubayangkan wujudku saat samsara nanti. Berwujud manusia, binatang, atau pepohonankah? Mereka bilang semua bergantung pada keberhasilan atau kegagalanku meramu pilihan, waktu, dan nasibyang ketiganya bermuka dua dan tak tertebakdi masa lalu. Ah, seandainya Tuhan tak mengunci memori masa silam seratus tahun laluku, aku mungkin tak setakut ini.
Mati sajaa!!! Teriakan itu kembali menggema. Aku memejamkan mata. Bayangan nirwana dengan gemulai molek dan gempita tawa kembali menggoda, melawan tekad yang memeras alasan untuk membuatnya enyah. Aku mengejarnya, tapi tak tahu cara menggapainya. Jika mati di titik ini, maka dosa-dosa masa laluku takkan tertebus, dan aku hanya akan menjadi ruh yang melayang tak tentu arah hingga akhir masa nanti, lalu mengakhiri ketidakmenentuanku dalam letupan air panas mendidih yang melumatku menjadi kaldu. Aku bergidik. Ngeri.
Ini pilihan yang sulit. Baiklah, aku akan mencoba peruntunganku. Kutawar pilihan Tuhan. Apakah aku boleh memecah diriku sebelum bereinkarnasi, Tuhan? Agar aku dapat meniti semua pilihan dan memilih pilihan terbaik sebagai akhir perjalananku. Tuhan menatapku putus asa.
Pikirkanlah, titah-Nya tegas. Ia berbalik dan pergi. Aku terpuruk dan lelah. Sementara itu, pisau di tangan kembali menggeliat.
***
Aku dan pisau. Kami berdua. Ah tidak, bertiga dengan waktu yang sejak semalam lalu tak beranjak dari sunyi. Serupa pesakitan yang kalap bertemu Izrail. Serupa terdakwa yang ciut di bawah tiang gantung. Aku dan pisau. Kami berdua berpandangan, bercengkrama melalui sandi-sandi yang lesap disepuh senyap. 
Lekas putuskan, aku sudah lelah melihatmu, pandangnya letih.
Aku tak tahu, jawabku pasrah.
Ia menggeliat lagi. Matanya mulai mengiris jariku satu satu.
***
Selalu risau. Kadang kasihan, kadang jengkel kadang marah. Genggamnya begitu kuat. Napasku tinggal satu-satu. Berdekatan dengannya membuatku haus darah. Entah mana yang lebih gurih, darah jiwa atau darah manusia.
Ia bersandar pada kemukus rapuh yang membuatnya selalu memperbaiki posisi. Posisi akhir, selonjor kaki dengan kepala tengadah dan tangan terkulai pasrah. Mungkin ia sedang menyelonjorkan kepenatannya. Di atas, para bintang bersenda tanpa menggubris cerca rembulan. Ia tersenyum. Tak tercetak garis tawa pada pipinya. Rupanya mengarung seratus tahun di  Padang Antara sukses menyulapnya menjadi batu.
Sebenarnya, apa yang dibimbangkannya bukan urusanku. Aku terlalu sibuk untuk memikirkan urusan para jiwa yang selalu datang memikul karma. Kadang karma membuat mereka tampak setua dan sekeriput pertiwi. Kadang karma membuat mereka senista dan seburuk The Beast dalam cerita picisan legendaris The Beauty and The Beast. Karma memang rahasia yang dapat kau tebak sambil lalu, seperti unsur hara yang diteguk akar lalu menjalar dalam arakan xylem-floem yang kemudian mencuat menjelma buah. Manis pahit buahnya tergantung gigih akarmu mengoyak tanah. Berlomba dengan Oligochaetadan gulma parasit yang akan membuatmu mati jika kau, wahai pepohonan rapuh, tergoda kalah. Ah, karma memang rahasia-Nya.
Ia menggenggamku semakin erat, seakan tak rela melepasku pergi. Peluhnya berbau darah. Aku semakin haus.
Pisau, kenapa lidahmu menjulur-julur begitu? Tolehnya kaget.
***
Aku mengumpamakan takdir Tuhan serupa rembesan hujan yang menyelusup dalam akar pepohonan, berpetualang dari satu riak ke riak lain, atau jatuh bebas sebagai embun yang bergulir-gulir di kuncup tulip. Tetesnya kekal, dapat kau sulap menjadi minuman penghangat badan kala langit bermandikan gerimis, atau sebagai pengantar racun yang membuatmu tidur panjang. Tergantung kau. Serupa Tuhan yang mengibaratkan kehidupan dunia sebagai curahan hujan yang memekarkan padang ilalang lalu membuatnya kering terterbang angin, takdir adalah perjanjianmu dengan Tuhan. Perjanjianmu dengan pilihan yang kau sadari karenaku.
Aku merentang masa dengan menyemat detik pada setiap simpang perjalanan. Setiap detik yang kutanam akan kembali dengan mata berbinar atau tatapan nanar. Berhasil atau gagal. Tergantung kau. Lagi-lagi.
    Rasanya, detik-detik dalam tubuhku sudah terberai bosan. Menghambur riuh dan berloncatan ke balik tebing.
Kau terlalu lama memberi putusan.
Ah, sungguh sulit merebahkan beban yang sudah koyak karena ragumu.
***
Pisau ini berbau amis. Kulempar ke sudut sebelum kulitku tercabik habis. Ia menyeringai. Aku menggeram.
Mataku memanjat tebing kelam di sekeliling, memaku memori pada detak yang tersisa, menyelinap dalam batin para jiwa yang bergolak. Sejenak pandangku lekat. Pada ruh yang bercumbu dengan waktu. Pada ruh yang menikam waktu dengan sadis. Dan darah-darah bergelimang, membanjir laksana danau bersepuh senja di renta hari. Di atasnya, ribuan ruh tercengang bimbang. Menyempurnakan udara yang kerontang.
Kami menunggumu Kanya, suara itu sangat lembut. Ia tak terlihat. Ruh pendosa mustahil melihat istana jiwa moksa.
Kami menantimu di dunia, suara ini terdengar mantap, juga manis dan renyah. Kita akan bersama-sama menuju moksa, kata-katanya terdengar seperti harapan. Lalu hilang, terjun bersama waktu yang berderak girang bergandengan tangan.
Putuskanlah sebelum terlambat, jangan pernah menyesal, sela suara serak yang terdengar berderak di telinga. Ada nada getir dari rimanya. Ia menatapku getir.
Waktu, yang kusut dan kuyup oleh geletar harap, sibuk menghimpun detik-detik yang berhamburan.
***
Tuhan menitahkan angin untuk mengabariku tentang keputusan-Nya. Ia bilang, aku boleh berbincang dengan waktu selama yang waktu butuhkan untuk memantapkanku. Dan dengan kesepakatan, sang waktu membawaku mengarungi lorong masa yang pernah kulalui. Berdiri sedekat ini, rasanya sungguh kejam membiarkannya tersia.
Kami menyelami laut gemintang, berputar-putar di belantara planet raya. Melesat kilat seperti diterbangkan cahaya. Rasanya aneh. Takjub. Nano-nano. Tak sempat memikirkan rasa takut, kami sudah sampai. Sungguh hebat. Tak sempat berteriak histeris. Sepertinya sang waktu jauh lebih canggih daripada mesin waktu Doraemonkartun anak dari Jepangyang selalu bergoncang dan kadang tersesat.
***
Cantik. Sungguh cantik. Sejenak aku terpukau melihat diriku di masa lalu. Ia, gadis sintal bermata sayu dan berbibir padat menatap cermin sambil mengoleskan gincu pada bibirnya. Jemarinya lentik, bergerak-gerak menggaris bibir, lalu terulur teratur pada rambut-rambut kecil di dahi yang disisirnya rapi. Berputar-putar sambil menyentuh dada dan mengetatkan pinggul. Pas. Ia tersenyum puas. Aku terpana lemas.
Waktu membisikkan sesuatu di telingaku. Hei, benarkah ia dirimu? Aku menatapnya bengis, antara malu dan putus asa. Ia berhenti berbisik. Kami melayang-layang bersama udara yang menitipkan kami pada tanah, air, atau api yang berevolusi dalam berbagai bentuk, segala unsur yang dapat mengawasinya kala ia lewat. Aku mengingat-ngingat rupaku saat reinkarnasi nanti, tapi ingatan itu benar-benar sudah terhapus, hilang lesap sebagai pasir yang dikikis ombak pantai.
Kami melayang-layang di sela kabut dan dingin malam. Aku tak menggigil, tapi ia mengalungkan kain rajutansejenis syal, tapi tentu saja bukanke leher jenjangnya, membelitnya berulang kali seolah ingin memastikan mati tepat waktu. Seandainya ia benar-benar bunuh diri, bagaimana rupanya kelak? Waktu menyikutku dengan mata besarnya. Jangan berpikir, lihat saja, titahnya. Aku takluk.
Greeeett... pintu kayu itu berderik sebelum mengizinkannya masuk. Ia kembali memeriksa tatanan rambut, dada, dan pinggulnya. Sudah pas. Ia melenggang santai.
Aku terkaget-kaget memasuki ruangan sempit yang hingar-bingar itu. Bau arak tercium menyengat, seolah-olah aku ada di dunia lain yang meraja udara dalam berbau sengak. Jendela-jendela tertutup rapat. Ruangan itu bahkan tak memiliki secelahpun lubang yang bisa mengusir bau sengak. Aku berputar-putar menahan mual. Waktu bergeming di jarum jam kuno yang sebentar-sebentar mengeluarkan burung hantu kecil yang meneriakkan pukul, tapi tak satu pun terpukul pergi. Temuan berikutnya membuatku tercengang. Sengak itu tak hanya mengintimidasi udara, tetapi juga berdiam diri dalam mulut, tenggorokan, dan gelas-gelas panjang di meja tempat sekumpulan orang sempoyongan menenggak tuak sambil menceracau tak jelas. Ada yang terbahak, ada yang menangis. Ada yang berteriak-teriak, ada yang sibuk berasyik-masyuk, menyelipkan jari dalam lipatan baju ketat yang membalut pinggang. Tak ada yang peduli. Aku memalingkan muka.
Lihat. Gadis itu, yang entah kenapa miris untuk kusebut aku, terbahak riang sambil sesekali menyesap air seperti air putihtapi bukan, aku yakindi tangannya. Di depannya berdiri seorang lelaki. Aku memicingkan mata. Bukan, ia bukan lelaki. Tapi kakek tua berbadan kekar dan bermata lapar, yang matanya menjelalat dari bibir ke dada, dada ke pinggul, dan seterusnya seolah ingin melalap habis pemandangan di depannya. Aku muak. Tapi mereka malah berjingkat ke balik kursi. Aku geram. Tapi mereka malah semakin keras menyuarakan dentam.
Aku mengawasi mereka dengan gigi gemeletuk dan tangan mengepal. Mungkin mereka merasa diawasi. Si gadis, yang lagi-lagi enggan kusebut aku, menggosok pipinya yang belepotan gincu. Aku muak. Si lelaki pergi, mungkin ia perlu banyak beristirahat sebelum menceritakan kisah permusuhan tikus dan kucing pada cucunya besok. Gadis itu merapikan bajunya, lalu melenggang pergi dengan segepok uang yang menebal di balik kutang. Langkahnya tergopoh, menerobos malam yang semakin pekat oleh aroma jahat. Ia mengganti pakaiannya di tempat kulihat ia bergincu. Menukarnya dengan baju lusuh penuh tambalan yang membuat dirinya tampak seperti gadis kumal tanpa dosa.
Aku berpikir akan perubahannya, tapi tak menemukan jawaban tepat. Kembali kumelayang bersama waktu, tertatih lelah memecah angin malam yang tak bersahabat. Kami menghentikan pelayangan di depan gubuk reot. Ia membuka pintu. Deriknya berat seperti enggan dimasuki orang. Olala. Ternyata si pintu berat menyembunyikan sesosok perempuan ringkih yang terbaring pucat di dipan bambu. Gadis itu mendekat. Mengusap dahi perempuan ringkih sambil sesekali memijat pundaknya.
Pulang malam lagi, Nak, lirihnya gemetar. Disusul batuk-batuk kemudian.
Gadis itu tersenyum. Iya Bu, hari ini kedai warungnya ramai lagi. Aku tak boleh pulang sebelum mencuci semua piring kotor.
Aku berdecak. Kurasa lampu temaram juga bersekongkol menyembunyikan wajah palsunya.
Si gadis menyelimutkan secarik kain lusuh di kaki dingin perempuan ringkih. Perempuan itu hanya terdiam, tapi matanya memancarkan terima kasih yang sangat dalam. Aku sesak. Mataku basah.
Waktu menatapku muram. Ia menyaring kabut dan menjadikannya tinta, menggores aksara di langit luka. Tat prajnena vinitena jnanavijnanavedina. Nayuskamena sevyah syurmanasapi parastryah. Maka itulah sebabnya, orang yang arif (orang bijaksana), orang yang berkesusilaan, orang berilmu pengetahuan sempurna, orang yang berkehendak berusia panjang, tidak  (jangan) sekali-kali memikirkan untuk memperkosa istri orang lain.
Aku  mendesah. Bagaimana jika waktu itu aku masih gadis, tidak menjadi istri orang? Bagaimana jika aku yang menggoda para lelaki jalang itudan bukan mereka yang menggodaku?
Di kejauhan, kulihat si gadis kumal merogoh sesuatu dari kutangnya, lalu lari memecah malam, mencari toko terdekat untuk membeli setangkup roti. Ibunya sudah tak makan tiga hari.
***
Menjijikkan. Aku memuntahkan angin berulang kali. Sosok reinkarnasi pertamaku ternyata babi! Aku bukan manusia yang punya sistem pencernaan dan makanan yang bisa dimuntahkan, tapi perutku tetap saja mual. Lihat, babi kotor itu berkubang nyaman dalam genangan lumpur basah. Membolak-balikkan badan di bawah sengat matahari. Mungkin baginya kubangan lumpur adalah kasur busa.
Aku melirik waktu yang tak berkedip padanya. Tertawakah ia? Mataku sangat panas. Tuhan, inilah hukuman bagi pezina yang berlaku demi mengasapi dapur rumah. Rumah? Gubuk reot maksudku. Matahari tersenyum kelu. Sinarnya berpendar lembut pada kulit si pemilik moncong panjang.
Lidahku kaku. Masih terkesiap pada wujud ajaibku. Ia berbaring seakan menitipkan bebannya pada kecipak lumpur yang membisu. Matahari membangunkannya lewat terik, membias cerah mengantarnya mengais makanan di belantara lebat. Aku terpana saat ia enggan menyentuh binatang. Ia hanya memilih dedaunan dan embun basah untuk ia nikmati.
Sekalipun begitu, pada akhirnya ia tetap mati tertusuk tombak. Badannya menggelepar-gelepar sebelum ambruk di tanah yang menangis memangkunya.
***
Aku masih menyimpan duka saat sang waktu membawaku terbang menuju reinkarnasi keduaku. Bayangan babi kotor yang mengunyah daun demi menebus dosa kembali terekam di ingatan. Bercampur aduk dengan bayang gadis pendosa yang blingsatan mencabik asa.
Lihat, itu dirimu, tunjuk sang waktu.
Aku mengangkat muka. Sedikit lega karena kini iababi malang yang meregang nyawa di ujung tombaktelah berubah wujud menjadi seorang perempuan manis. Perempuan itu tak tampak sebagai pezina atau pemilik moncong. Ia bersih. Cantik. Santun. Apa yang membuatnya tak moksa? Aku berpikir keras.
Hidup perempuan itu sungguh berat, demikian cerita waktu. Kenapa? Tanyaku, masih dengan senyum tersungging. Kami mengayunkan kaki di batang pohon tertinggi, menyaksikan perempuan itu menggendong kayu di bawah sana.
Ia sangat miskin, sehari-hari sebagai pencari kayu di tepi hutan, lanjut sang waktu. Suatu saat, takdir mempertemukannya dengan seorang pemuda. Mereka menikah, meski sama-sama tak berharta. Hidup mereka bahagia, sampai suatu hari sang suami tewas tersambar petir saat memanjat pohon kelapa. Perempuan ini begitu terpukul. Ia mengutuk dirinya karena menginginkan kelapa. Ketika itu ia tengah hamil tua. Mungkin ia begitu putus asa hingga memutuskan mengakhiri hidup di tali gantung. Kau tak ingat?
Aku menggeleng. Bagaimana bayinya? Matikah ia?
Waktu menggeleng. Tidak, kau menggantung diri sehari setelah melahirkannya. Kau ingin melihatnya?
Aku termangu. Bisakah? Tanyaku sangsi.
***
Ini pusing terhebat yang pernah kuderita. Sakitnya mendentam-dentam seperti dihantam ribuan godam berukuran raksasa. Rasanya godam-godam itu juga dikendalikan oleh raksasa jahat yang berusaha menarik keluar otakku, lalu menghantamnya bertubi-tubi sebelum merebusnya di kuali mendidih. Nyeri sekali.
Ia mengembalikan otakku dengan tergesa-gesa. Pecahannya masih tersisa, terserak dimana-mana. Ia membuangnya jauh-jauh. Kini aku berotak lagi. Tapi ingatanku kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang. Hanya ada bayangan gadis sintal, babi mati, dan tali gantung yang berkelebat-kelebat tak beraturan.
Bayangan apa ini?
***
Sudah kau putuskan?
Aku sudah mengumpulkan sejuta protes dalam mulutku.
Aku tahu. Bukan masa lalu yang harus kau ingat. Kau lupa, Aku mengetahui apa yang tidak kau ketahui?
Retoris.
Tuhan, bisakah aku tahu wujudku nanti? Aku menatap-Nya penuh harap.
Kenapa? Sorot mata-Nya begitu teduh.
Ia bisa membaca ketakutanku.
Jika Kuberi kau penglihatan sekilas mengenai lingkungan reinkarnasimu, apakah itu tidak apa-apa?
Aku bersorak. Seketika, sekelilingku sudah dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit yang dilapisi kerlap neon. Aku terkesima. Manusia-manusia berbagai warna berjalan searah dengan gerakan tergopoh-gopoh. Aku takjub. Tiba-tiba aku sampai di sebuah pantai indah yang seluruh pendatangnya bertelanjang badan. Aroma maksiat tercium kuat. Aku memejamkan mata. Saat kubuka, aku sampai di dunia semutyang keseluruhannya berukuran sebesar manusiayang tengah berbaris rapi menyalurkan makanan. Mereka begitu kompak. Belum genap menyempurnakan rasa, aku sudah terperangah dengan penglihatan sejumlah kawanku yang semenit lalu masih bersama di dunia roh. Ada yang menjelma tikus, buaya, babi. Ada yang menjelma raja atau pendeta. Mereka mengenaliku. Aku tersenyum, seperti ada sesuatu tak bernama yang meluap-luap dalam diriku.
Baiklah.
***
Kau yakin pada pilihanmu?
Aku mengangguk mantap. Kukembalikan pisau pembunuh waktu yang dipinjamkan Tuhan padaku. Aneh, sepertinya pisau itu menyukai keputusanku sekalipun ia tak dapat menyembunyikan kehausan di wajahnya.
Tuhan tersenyum.
Kau hebat. Buktikan pada-Ku kau bisa moksa. Dunia yang baru saja kau lihat, bisakah kau membuatnya lebih indah? Bantulah manusia-manusia itu lepas dari nafsunya....
Aku tersenyum. Kau tahu, sesungguhnya kau tak tahu apa yang akan terjadi padamu sebelum engkau melaluinya.
Waktu memandangku penuh arti. Kami bergandengan mesra.

Kolase Waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang