Ay(ah)

5 0 0
                                    

Rie Agustina

Ketika waktu berbicara rindu, tak ada sesal yang harusnya tercipta. Ketika waktu berbicara cinta, apa salahnya? Waktu, tak pernah tahu rindu dan cinta yang tercipta. Ia hanya menjawab segala tanya, segala ragu, segala janji dan segala amarah yang tertunda.
***
Hari sudah tua kala senyum mengepakkan sayapnya dari sudut bibir gadis ranum seperti  Anita. Memandang  berlama-lama pantulan wajah meronanya yang terekam dalam sebuah kaca. Hmm, Cantik. Hanya itu pikirnya. Serupa boneka Barbie, Anita muda melangkahkan kaki indahnya menuju mobil yang telah menunggunya sedari tadi. Lelaki dewasa seumuran bapak-bapak namun tampak lincah dan gagah tersenyum di balik kemudi. Lalu gadis yang belum genap dua puluh itu masuk ke dalam mobil.
Selamat malam Ay, ucapnya manis.
Malam, Anita jawabnya.
***
Anita. Nama yang melekat dalam dirinya, pemberian kedua orang tuanya. Dalam bahasa Italy, namanya berarti rahmat, pemberian Tuhan. Benarkah ia rahmat yang diberikan tuhan? Atau nama itu hanya untuk keindahan saja? Dianugerahkan agar ia tidak cemooh orang. 
Cinta itu indah, nak. Ibunya pernah berkata. Dalam keheningan kamarnya, Anita berusaha mengingat. Tapi, ia tak menemukan ingatan tentang cinta yang dimaksud indah dari ibunya. Ia tak pernah mengerti bagaimana dicintai. Sejak kecil, ia sudah terbiasa hidup sendiri. Ibunya, sering berada di luar negeri untuk urusan bisnis. Ayahnya, entah. Tak pernah sekalipun ia diceritakan tentang ayahnya. Bahkan namanya pun ia tak tahu. Pernah sempat mencari tahu, namun gagal menemukannnya dalam setumpuk album foto ibunya. Semasa kecil, ia tinggal dengan kakeknya yang hanya memanjakannya dengan uang. Segala yang ia inginkan bisa saja langsung tersedia. Apakah cinta hanya sebatas uang? Batinnya.
Ketika usianya menginjak tujuh belas, Anita semakin terbiasa dengan hidup sendiri. Ibunya, entah kemana sekarang, sebagai pebisnis, ia bisa saja berpindah-pindah negara dalam seminggu. Kakeknya juga sudah meninggal saat usianya 15 tahun. Kini dia tinggal bersama seorang pembantu yang setia menemaninya.
****
Pertemuan pertamanya dengan lelaki yang dua puluh tahun lebih tua  yang ia kenal bernama Fedi itu tak pernah terbayangkan akan berlanjut sedemikian jauh. Saat itu, ketika Anita sedang berjalan sendiri di sebuah toko buku, ada seorang lelaki yang tiba-tiba memberinya sebuah buku.
Anggap saja kau sedang beruntung hari ini, begitu ucapnya kala itu.
Ia tak pernah berharap waktu kan mempertemukannya dengan Fedi lagi. Sampai ketika ia bertemu lagi di sebuah konser musik klasik yang disuka ibunya. Ternyata kesukaan Fedi sama dengannya.
Sejak saat itu, perkenalan mereka semakin lekat. Ia kerap pergi bersama Fedi untuk menonton musik atau sekadar minum teh bersama. Lama kelamaan ada panggilan sayang dari Anita kepada Fedi. Ay, begitulah Anita sering menyebut Fedi. Ay belum menikah hingga usianya melampaui empat puluh. Ia tak pernah menemukan wanita yang cocok dan ia langsung jatuh hati kepada Anita ketika melihatnya.
Wajah cantikmu mengingatkan pada seseorang dimasa muda, begitu jawab Ay ketika suatu saat Anita menanyakan mengapa lelaki itu mencintainya. 
***
Suatu siang yang terik, Anita menjemput ibunya ke bandara. Kebetulan ada pertemuan dengan duta besar di Indonesia dan ibunya akan tinggal untuk beberapa waktu. Anita masih terkagum dengan sosok ibunya. Di usianya yang hampir 40 tahun, belum terlihat tanda-tanda penuaan. Jauh beda dengan foto-foto yang dikirim melalui e-mail.
Apa kabar, baby? ucap ibunya saat pertama kali bertemu Anita. Wanita itu mencium kedua pipi putri semata wayangnya tersebut.
Baik, Mom, jawab Anita.
Lalu dua ibu-anak tersebut tenggelam dalam banyak percakapan sepanjang perjalanan pulang. Lama tak dipertemukan, banyak cerita yang terlontar dari bibir keduanya. Tentang pekerjaan ibunya, tentang tempat-tempat indah yang ada di luar negeri, tentang waktu yang berharga. Begitu pula tentang sekolah Anita yang segera berakhir dan bersiap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tentang prestasinya, tentang hobinya, sampai akhirnya ia menyebutkan Ay.
Siapa Ay, itu? tanya ibu Anita.
Eh.. emmm Anita bingung menjawabnya.
Lalu mengalirlah cerita tersebut, cerita tentang Ay, Anita yang dipertemukan dengan laki-laki yang umurnya hampir sama dengan ibunya. Lalu jatuh cinta karena satu kesukaan yang sama. Sebuah musik klasik. Cerita tentang kesuksesan Ay yang memiliki banyak perusahaan. Cerita yang mengalun dari bibir seorang remaja yang belum genap duapuluh, yang baru mengenal apa itu cinta.
***
Sudah luluh rasanya hati yang pernah tersayat, ketika dulu lelaki itu melamarnya. Dengan kata-kata yang sanggup membius wanita manapun. Saat itu, ia telah berbadan dua lebih dulu. Lelaki itu ingin menikahinya dan menyatukan hati dalam ikatan perkawinan. Hanya saja, mimpi yang pernah ditawarkan lelaki itu, mendadak sirna karena perbedaan derajat. Ya, orang tuanya tak pernah merelakan anak wanitanya hidup bersama seorang lulusan SMA yang tak punya pekerjaan tetap. Yang hidup dari pekerjaan serabutan.
Cinta tak direstui. Saat itu, ia dikirim orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri dan melahirkan anak yang dikandungnya. Kemudian, ia tak pernah mendengar lagi kabar lelaki itu. Lelaki yang amat dicintainya bahkan sampai sekarang. Ia tak pernah ingin menikah, karena hanya laki-laki itu yang mampu membuatnya bertahan. Bertahan dengan waktu yang semakin bergeser menuju usia senja. Ada harapan yang ia simpan dalam detik-detik yang terus bergulir, bahwa ia akan bertemu lelaki itu. Hanya ingatan yang ia pertahankan, segala benda yang berhubungan dengan lelaki itu telah habis dibakar orang tuanya.
Cinta. Ia hanya tak mau anaknya bernasib sama hanya karena itu. Ia harus meyakinkan rasa yang kini dimiliki Anita. Ia harus segera menemui lelaki yang dicintai Anita. Tapi ragu untuk menemui lelaki yang dimaksud anaknya itu. Perbedaan umur mereka cukup jauh, hampir sama dengan umurnya.
***
Siang itu, ia dan Anita merencanakan pertemuan dengan lelaki yang disebut Ay oleh anaknya. Ia ingin memastikan sesuatu. Rasa takut akan masa lalu menghantuinya. Di sebuah restaurant yang elegan ia menunggu lelaki tersebut. Detik seakan berjalan lambat. Entah kenapa dadanya berdebar. Padahal ia hanya akan bertemu dengan laki-laki yang dicintai anaknya.
Tiga puluh menit berlalu, tapi tanda-tanda kehadiran lelaki itu belum kunjung tampak. Ia tak sabar menuggu. Segelas Moccacino Cream telah habis diseruputnya. Gurat kegelisahan juga tampak dibalik wajah Anita.
Kenapa dia belum kunjung tiba, Anita? tanyanya.
Sebentar lagi Mom, sepertinya ia masih ada kerjaan,  jawab Anita.
Tak lama, telepon genggam Anita berbuyi. Lelaki yang ditunggunya sudah berada di depan restaurant tersebut.
Anita, sapa lelaki tersebut.
Ay, balas Anita manja. Kenalkan, ini mamaku
Lelaki itu menjabat tangan mama Anita. Namun keduanya saling terperanjat. Saling memandang satu sama lain. Wajah itu..
Fedi
Namira.
Keduanya terpaku. Wajah itu, yang telah lama dirindukannya. Seseorang dimasa lalu. Yang telah lama dirindukannya. Lalu mereka saling berpelukan, melepas rasa rindu yang tertumpuk menjadi gunung.
Kamu kemana saja, Namira. Putus asa aku mencarimu.
Sementara itu, Anita tak mengerti maksud ibunya dengan lelaki yang dicintainya tersebut.
Tunggu tunggu kalian saling kenal? Anita bertanya kebingungan. Kenapa orang yang dicintainya justru memeluk ibunya.
Ibunya malah menangis sesenggukan.
Mom, ada apa ini ? Ay.. ada apa sebenarnya Anita bertanya bingung.
Setelah mereka melepas pelukannya. Keduanya kembali duduk. Saling terdiam dalam kursi masing-masing.
Mom, Ay, please ada apa sebenarnya ini? Kalian saling kenal?
Bagai disengat listrik Anita mendengar tuturan ibunya. Sebuah kenyataan yang membuat hatinya terluka sangat.
Fedi ini masa lalu mama. Mama pernah berpacaran dengannya, Anita menatap Fedi yang masih tertunduk. Dan perlu kamu tahu, hubungan kalian tak bisa diteruskan Anita, karena dia adalah ayahmu.
APA?!?! Fedi dan Anita tercekat.
A nakku? Dia anak kita Nam? tanya Fedi.
Iya, Fed, Wanita itu mengangguk lemah.
Tidak Tidak Tidak mungkin Anita tak percaya. Seketika meninggalkan restaurant itu dengan tangisnya yang memecah kelengangan siang.
Maafkan aku Nam, aku tak menyadarinya, 
Tak apa Fed, mungkin aku salah tak pernah mencarimu lagi.
Kelengangan siang yang menguak luka lama. Setelah bertahun-tahun mereka dipertemukan dalam satu moment yang menyisakan pahit.
Aku masih mencintaimu, Nam,
Aku juga masih menyayangimu, Fed.
***
Ia mencoba mempertahankan  matanya terbuka, berharap tulisannya selesai sebelum matanya terpejam. Sepertinya segelas Vanila Latte yang tadi diseruputnya , tak sepenuhnya membuat kantuknya sirna. Kembali, ia menekuri deretan huruf diatas keyboardnya. Berharap selesai secepatnya.

Untuk gadis kecil diujung hari
Ada kosong yang sejenak menyapa. Mengendapkan luka yang entah bermula dimana. Sesak mendesak. Kala kusadari kita adalah satu. Ada cinta dan harapan yang pernah kualirkan pada mata bening itu, dulu. Laksana embun dini hari, menjadikan basah dedaunan yang belum semangat menggeliat.  Dirimu, kartika  yang pernah hilang dari butala . Yang kini kembali hadir menggenapkan waktu.
Perihal impian yang pernah kukisahkan itu, mungkin tak akan pernah terwujud. Tuhan tak merestui.

Matanya sembab. Padahal kerasnya hidup yang pernah ia lewati, telah banyak mengajarinya kekuatan, ketabahan. Sebagai laki-laki, menangis adalah hal memalukan menurutnya. Tapi, malam ini Tuhan menjadikannya rapuh. Kantuk yang tadi memberatkan, lenyap dengan hadirnya bulir yang mengalir.

Kini, kenangan yang menyelipkan luka itu mengudara kembali. Dengan hadirnya kenyataan yang tak mampu kupercaya. dulu nuraniku berkata, Tuhan mengirimkan engkau sebagai penutup luka, namun kini, justru kaulah kunci luka lamaku.
Akan tetapi, aku tak akan pernah membencimu. Kau bukanlah kesalahan. Kau adalah kartikaku, gadis kecil diujung hariku. Selamanya.
-Dari orang yang (selalu) mencintaimu. Ay(ah)mu-

Ia menutup Ms.Wordnya lalu menyimpannya dalam file Untuk Gadis Kecil.docx. Rasanya sudah cukup. Netranya mengerling jauh, memunculkan sekuen-sekuen yang pernah terekam, bahkan beberapa kali banyak yang terlewatkan.
****
Sebuah keputusan yang sulit harus dipilih Anita, ia menyayangi Fedi, namun hubungannya tak dapat diteruskan. Di lain sisi, ibunya juga masih menyayangi Fedi yang notabene adalah ayah kandungnya.
Batinnya terkoyak. Tercabik kenyataan yang mencakarnya. Cinta yang ia rasakan, yang ia pikir karena jodoh, namun ternyata karena ikatan batin. Ikatan antara seorang ayah dan anak. Lalu, apa yang harus ia lakukan kini?
***
Epilog
Gadis itu mendorong kopernya menuju keberangkatan pesawat yang akan membawanya terbang menuju Paris. Disebelahnya, seorang wanita yang anggun mengikuti langkahnya, menenteng tas kecil yang mewah. Lalu seorang lelaki paruh baya menyusulnya dari belakang. Ketiganya tersenyum dan melangkah gontai memasuki pintu keberangkatan pesawat. Gadis itu tersenyum bahagia dengan keluarga yang kini utuh.

Kolase Waktu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang