'Tit tit tit ... tit tit tit .... '
Lexi terhenyak dari tidurnya ketika mendengar suara alarm jam di ponselnya berbunyi. Dengan mata yang masih diberi penutup, tangannya meraba-raba untuk meraih ponsel yang ada di atas meja kecil bergaya shabby. Membuka penutup mata yang memiliki motif mata panda lalu menekan layar ponselnya—mematikan alarm.
Pukul tujuh pagi, tidak biasanya Lexi bangun sepagi ini. Lexi terpaksa bangun pagi-pagi karena pukul sepuluh nanti dia ada pekerjaan menyanyi di sebuah pesta pernikahan. Jadi sepagi mungkin dia harus mempersiapkan diri, berdandan semewah mungkin dan tentunya harus sempurna. Masih dengan rasa kantuk yang mendera, Lexi merambat dari tempat tidur untuk turun dari singgasana ternyamannya lalu ia berjalan gontai menuju jendela dan menyibak korden berwarna hijau toska—warna kesukaannya. Matanya sedikit menyipit ketika sinar mentari pagi menusuk retinanya, mata kantuknya masih belum bisa menerima perubahan cahaya yang begitu kontras.
Setelah sedikit berlama-lama di depan jendela yang tertembus sinar mentari pagi, Lexi berjalan menuju pintu. Gerakan tangannya terhenti di knop ketika pikirannya kembali mengingat kejadian semalam. Apa semalam itu mimpi? Tidak, Lexi rasa itu bukan mimpi. Kejadian semalam benar-benar nyata. Dengan rasa gundah, Lexi berbalik untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Dia ingin menghubungi Cleo, meskipun berbicara dengan Cleo tidak begitu membantunya tapi paling tidak dia bisa sedikit mengurangi rasa gundahnya.
Sebuah nada sambung menyeruak ke pendengaran Lexi, sembari menghubungi Cleo, dia ingin membuat teh hangat. Membuka pintu kamar lalu berjalan menuju dapur kecil yang langsung menyambung ke halaman belakang rumah. Dari dapur mininya itu dia bisa melihat tumbuhan rimbun yang berada di halaman belakang. Sekilas Lexi menyunggingkan senyum untuk menyapa mereka.
"Halo," sapa Lexi ketika nada sambung panggilannya berhenti.
"Hoam ... morning, Lexi." Suara Cleo terdengar berat, sepertinya dia sedang membangunkan Cleo yang sedang terlelap.
"Maaf aku menganggu tidurmu."
Terdengar suara lenguhan dari Cleo dan Lexi bisa menebak kalau Cleo pasti sedang menggeliat. "Ya ... kau membangunkan tidur nyenyakku di minggu pagi. Kau tahu, semalam aku pulang pagi."
"Pergi ke klub?"
"Iya."
Lexi mulai mengambil cangkir berwarna biru dongker di atas meja. Meletakkan kantung teh lalu menyeduhnya dengan air hangat yang ada di dispenser.
"Kenapa pagi-pagi meneleponku?"
Lexi terdiam sejenak sambil mengaduk-aduk teh hangatnya. "Emm ... aku ingin menceritakan sesuatu, tapi ... aku harap kamu jangan menganggapku aneh."
"Kamu memang aneh dari kecil, Lexi."
Lexi berdecih mendengar Cleo yang begitu terang-terangan mengutarakan pendapatnya. "Aku tidak aneh, Clee. Aku menceritakan kebenaran."
"Oke langsung ke topik pembicaraan. Aku malas berdebat denganmu."
Benar sekali, ucapan Cleo kali ini tepat. Lexi juga tidak ingin berdebat dengan Cleo pagi ini. "Semalam aku melihat sebuah peristiwa aneh." Tidak terdengar apa-apa dari seberang sana. "Aku bertemu dengan beberapa orang yang bisa berubah menjadi abu."
Lexi bisa mendengar helaan napas panjang dari Cleo. Dia bisa memastikan Cleo jengah mendengar ceritanya. "Kau berimajinasi lagi?"
"Astaga, Clee! Aku bukan anak kecil lagi, aku cukup dewasa dalam menilai sesuatu. Semalam aku dikepung oleh beberapa preman yang membuntutiku, lalu seorang pria misterius datang menolongku. Pria itu melemparkan belati ke dada preman yang mencegat jalanku dan preman itu tiba-tiba menjadi abu yang melayang-layang di udara. Aku sangat yakin dengan pengelihatanku dan aku tidak dalam keadaan mabuk malam itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nymph
Fantasy**** 17+ ***** Mungkin di mata para ilmuwan pra sejarah, mitologi Yunani memang benar adanya. Mereka memercayai kehidupan dewa yang agung bersama para penghuni yang mereka ciptakan. Memercayai bahwa kekuatan magis masih ada di jaman modern ini. Bah...