Chapter 2

84 12 0
                                    

Suara lonceng yang menyala membuat seluruh orang yang berada di cafe menoleh, tidak lama, hanya sebentar. Mungkin karena penasaran, atau karena gerak refleks?

Mata Anna menyisir setiap sudut cafe, lalu melangkah masuk dan duduk di tempat kesukaannya selama dua bulan belakangan.

Tak lama, salah seorang pelayan datang dan memberikannya menu. Setelah pelayan tersebut pergi dengan catatan pesanan Anna, Anna menyenderkan tubuhnya ke belakang, menghela nafas pelan. Terlalu banyak beban yang ia pikirkan beberapa hari belakangan.

Anna gelisah. Ia bukan tipe orang yang bisa memendam masalah sendirian dan berlagak sok kuat. Namun nyatanya, itu yang setiap hari ia lakukan. Berlagak riang dan kuat, tanpa ada orang yang tau akan apa yang ia rasa.


"Gue boleh duduk di sini?"

"E-eh." Anna tersadar. Kepalanya mendongak, hendak melihat siapa yang baru saja berbicara.

"A-apa tadi?"

"Itu..., gue boleh duduk di sini, gak? Biasanya gue duduk di sini. Awalnya gue mau cari tempat pojok yang lain. Cuma karena tempat yang pojok udah pada penuh, dan gue lihat lo cuma sendiri di sini, jadilah gue nyamperin elo. Jadi, boleh gak?"

Anna tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengiyakan permintaan cowok di hadapannya.

"By the way, gue Safar. Dan lo?" Safar menjulurkan tangannya.

Anna membalas juluran tangan Safar dan tersenyum manis. "Gue Yaranna. Biasanya orang-orang manggil gue Anna."

"Permisi... pesanannya.."

Keduanya kompak menoleh. Selesai menyajikan pesanan keduanya, pelayan tersebut pergi.

"Lah, kan gue cuma mesen untuk satu orang. Kenapa bisa jadi dua? Lo udah mesen juga? Jadi satu lagi ini pesanan elo?" tanya Anna yang dibalas anggukan Safar.

"Yara," ucap Safar tiba-tiba disaat keduanya sedang sibuk menyantap makanan masing-masing.

"Hah?"

"Yara. Gue lebih milih buat manggil lo dengan nama Yara. Kedengaran lebih enak aja gitu daripada Anna."

"Y-ya, terserah sih. Tapi, kenapa harus Yara? Kenapa gak Anna aja?"

"Gue gak mau sama dengan orang lain. Mungkin, biar lo lebih ingat gue? Juga, gue pengen jadi satu-satunya orang yang nggak manggil lo dengan nama Anna. Jadi, cuma gue 'kan, yang manggil lo Yara?"

Anna terdiam sebentar. "I-i-iya..."

Lalu, senyuman termanis Safar terbentuk begitu saja.




🍁🍁🍁




Anna melirik arlojinya. Sudah pukul 23:10, dan Anna masih betah untuk nongkrong di Cafe Victoria yang semakin sepi. Hanya tinggal ia, seorang anak kuliahan yang sedang mengerjakan sesuatu, tiga pelayan, dan satu koki. Oh iya, mengenai Safar, pemuda itu sudah pulang sejak jam setengah sepuluh tadi. Katanya, tidak enak dengan orangtua yang sudah menunggu dan mencari di rumah.

Anna tersenyum kecut. Anna tidak pernah ditunggu lagi jika pulang kemalaman. Tidak pernah dicari lagi jika tidak mengirimi mama pesan karena lupa. Semuanya berawal sejak sembilan tahun yang lalu.

Anna mengaduk-aduk gelas yang berisi caramel macchiato. Kembali termenung sambil menatap hujan yang semakin deras sejak sepuluh menit yang lalu.

Terlalu larut dalam lamunannya, Anna sampai tidak sadar bahwa bell cafe berbunyi dan seseorang berdiri di di hadapannya.

"Yara, pulang. Bokap nungguin."


"Nggak."


"Bokap udah nungguin. Ra, please."

Anna menatap laki-laki di hadapannya sinis. "Ya terus kenapa? Apa urusannya sama gue?"

Razza mengacak-acak rambutnya. Tidak tau cara melawan sifat keras kepala Anna yang sudah mendarah daging.


"Ra, ini bujukan terakhir. Lo mau gue aduin bokap atau ikut gue pulang?"

Emosi Anna seketika tersulut. Tapi, sadar sedang dimana ia, Anna mengurungkan niatnya untuk mencecar lelaki di hadapannya sekarang. Jadilah Anna menendang tulang kering Razza sebagai peluap emosinya.

Oke, seimbang.

Razza tersenyum miring walaupun tak urung masih merasakan sakit di kakinya. Tapi, tak apa, setidaknya ayahnya tidak akan terus menyuruhnya mencari Anna.

"Bayarin semuanya atau gue gak pulang," ujar Anna enteng sambil meninggalkan Razza yang raut wajahnya sudah berubah menjadi masam.

"Ck. Dasar nyusahin!"

Selesai membayar semuanya, Razza menyusul Anna yang sedang berdiri bosan di luar. Tanpa babibu, Razza menarik pergelangan tangan Anna dan menyeretnya masuk ke mobil tanpa perasaan.

"Woles kenapa!"

Razza tidak peduli. Tangan dan kakinya langsung bekerja untuk membelah jalan yang masih padat.

"EH MOBIL GUE GIMANA?!" pekik Anna saat sadar mobilnya masih berada di parkiran cafe.

"Gue urus."

"Bukan masalah urus-mengurus. Tapi masalahnya semua barang gue ada di sana!"

"Yaudah sih, paling juga barang gak penting."

Sepertinya, Razza kembali membangunkan singa betina yang emosional.

"Balik, gak?!"

"Gak."

"GUE BILANG BALIK!"

"KALAU GUE BILANG NGGAK YA NGGAK!"

"BALIK, ANJING!"

Anna tersentak ke depan saat Razza mengerem mobilnya mendadak.

"Bagus. Sekarang, putar balik!" seru Anna memerintah.

"Lo ngomong apa tadi?"

"Putar balik! Lo budeg?"

"Lo bilang... anjing?"

Anna mengangguk. "Iya. Terus kenapa? Lo punya masalah?"

Razza menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum akhirnya menyentil mulut Anna.

"Gak usah sentuh-sentuh! Kita gak akrab dan gue gak suka!"

TBC

MeandersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang