Isi Hati Oji

26.8K 2.1K 134
                                    

Oji ganteng banget berdiri di trotoar dengan latar belakang lampu-lampu mobil yang lewat di jalanan. Anak itu memasukkan tangan ke kantung depan celana pendeknya. Kaus lengan pendek terlihat cocok sekali di tubuhnya, pas dengan gayanya yang santai, tapi modis.

"Lama banget sih! Gue tungguin juga!" dumel anak itu.

"Sorry," Bangsat cengengesan. "Jadi kita langsung aja?"

Oji nggak jawab dan langsung melangkah pulang ke rumah.

Kalau di dalam mal tadi Bangsat jalan di depan Oji, sekarang dia jalan di sebelah anak itu. Langkah kakinya seirama dengan langkah Oji yang mantap. Untungnya trotoar itu lebar, jadi mereka jalan bersisian pun nggak masalah. Masih muat.

Perjalanan mereka ditemani bulan purnama yang bersinar terang di langit seperti mata raksasa. Langit bersih tanpa awan sehingga bintang-bintang yang bertaburan dapat dilihat dengan jelas oleh mata telanjang. Satu bintang berkedip lebih terang daripada bintang yang lainnya, dan Oji selalu menyukai bintang itu. Dia nggak tahu itu bintang apa, tapi dengan melihatnya saja bisa membuatnya merasa nyaman.

Angin bersemilir lembut, menerbangkan segala yang bisa diterbangkan: debu, asap dari knalpot kendaraan, daun-daun tua dari pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Mesin mobil di jalan, daun yang bergesekan, angin yang membelai wajah, suara tukang mi tek-tek yang terdengar di kejauhan menemani perjalanan pulang mereka, menciptakan sensasi yang terasa baru di sanubari Oji.

Sepanjang jalan Oji memasukkan tangan ke dalam saku celananya sambil berpikir, sementara Bangsat di sebelahnya bersiul.

"Katanya siulan malam-malam itu pamali." Dia memulai obrolan sambil melirik ke Bangsat.

"Lahir di tahun millenium, tapi masih percaya takhayul."

Oji angkat bahu sambil tertawa kecil. "Gue ngomong gitu bukan berarti gue percaya. Kan tadi gue bilang 'katanya', bukan 'kata gue'."

Bangsat berhenti siulan. Rambutnya terbang disapu angin yang membelai seperti tangan lembut tak kasat mata. "Malem ini indah ya, Ji."

Oji memandang ke atas langit, menyaksikan bulan yang melotot dan bintang yang berkedip ke arah mereka. "Kayaknya nggak bakal hujan, jadi lo nggak bisa curi-curi lagi kesempatan buat ngeue gue."

"Sorry untuk yang itu," Bangsat terdengar menyesal.

Niat Oji tadi cuma bercanda soal ngeue itu, tapi sepertinya Bangsat terlalu serius menanggapinya. "Udahlah, Bang. Gue cuma bercanda, kok. Gue tahu lo nggak mungkin ngeue gue lagi."

"Apa yang kita lakuin di rumah kosong itu—"

"—murni karena kebutuhan." Oji menyelesaikan kalimat Bangsat. Matanya balas melotot ke bulan. "Kita butuh untuk hangat, jadi kita melakukan itu. Semua itu murni karena kebutuhan."

Bangsat ingin mendebatnya, tapi nggak jadi. Dia sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan di rumah kosong itu lebih dari sekadar kebutuhan semata. "Gimana dengan ranjang bergoyang?"

Oji diam lamaaaaa banget, sampai-sampai Bangsat curiga jangan-jangan dia sedang menghitung bintang?

"Mungkin malam itu gue sleepwalking."

"Tapi lo nggak jalan sambil tidur, Ji. Kita ngewe. Nge-weeeee!"

Oji berdecak kesal. "Gue nggak ngerti apa yang terjadi dengan gue, Bang!"

"Dengan kita," Bangsat meralat. "Bukan cuma lo doang yang nggak ngerti, tapi gue juga."

Tap, tap, tap ... serrr... serrr... brrrm... brrmm... tek... tek.... tek....

Love, BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang