Dilema Oji

19.7K 1.3K 143
                                    

Ratu dan Wina datang dengan mengendarai mobil Innova milik Ayah yang dipinjam dengan memohon-mohon. Awalnya Ayah melarang, tapi setelah Ratu bilang bahwa dia janji bakal pulang hari Minggu sore supaya mobilnya bisa dipakai lagi oleh Ayah di hari Senin paginya. Ratu juga menambahkan bahwa Ayah bersikap nggak adil karena mengizinkan Oji pergi ke kampung, tapi ketika Ratu ingin pergi malah dilarang-larang. Rayuan maut Ratu ternyata sangat ampuh dan dia langsung mengajak Wina untuk ikut bersamanya setelah dia menanyakan alamat kampung halaman Bangsat kepada Juni—dia sengaja nggak bilang-bilang ke Bangsat karena niatnya mau kasih surprise yang ternyata kejutannya berhasil.

Bangsat mengerang kesal ketika mendengar penuturan Ratu dan dalam hati mengutuk Juni karena berani-beraninya memberitahu Ratu alamat tempat tinggalnya. Tapi, mau gimana lagi? Ratu dan Wina sudah ada di sini, mau nggak mau Bangsat harus menelan kekesalannya.

Memandang Oji yang duduk berseberangan dengannya di meja makan, Bangsat sedih karena ekspresi anak itu yang murung dan tampak nggak bahagia—padahal tadi malam Oji kelihatan sangat bebas, terbuka, bahagia, merona, tampan. Oji yang nggak bersemangat di hadapannya sekarang adalah Oji versi mengerikan dari sosoknya yang semalam.

"Dimakan, Ji," kata Bangsat, memandang ke piring Oji yang isinya nggak disentuh sama sekali.

"Kamu kenapa, Ji? Sakit?" tanya Wina. Dia menempelkan punggung tangannya ke kening Oji sambil melingkarkan lengan di bahu cowok itu. Perlakuan Wina membuat Bangsat cemburu. Seharusnya dia yang melingkarkan lengannya di bahu Oji.

"Nggak apa-apa kok, Win," Oji berusaha tersenyum. "Aku baik-baik aja."

"Sini deh, aku suapin," Wina mengambil piring Oji beserta sendoknya, kemudian mendorong sendok berisi nasi itu ke mulutnya. "Buku mulut kamu, aaaaa," titahnya, tapi Oji nggak mau membuka mulutnya sama sekali.

"Oji udah gede, Win, biarin dia makan sendiri," kata Bangsat, lebih ketus daripada yang dia kira bakal dia ucapkan ke cewek itu. Hatinya panas melihat Wina sok perhatian ke Oji. Cewek itu buta kali, ya? pikir Bangsat. Nggak bisakah dia melihat bahwa Oji nggak bahagia sama sekali bersamanya?

Wina menurunkan lagi piring Oji ke meja, cemberut. "Kamu makan dong, Sayang. Aku nggak suka lihat kamu nggak semangat kayak orang sakit gini."

Emak menginterupsi, "Oji pasti masuk angin karena semalem tidur nggak pakek baju."

Ratu menatap Emak, khawatir. "Nggak pakek baju, Mak? Di cuaca sedingin itu?"

Emak mengangguk. "Iya. Semalam kan dia sama Tria tidur nggak pakek baju."

Bangsat keselek lagi. Setiap kali ada obrolan yang mulai menjurus ke sana, dia bakalan keselek. Sambil batuk-batuk hebat. Dia meraih gelas di meja, meneguk isinya sampai habis, tapi masih pura-pura batuk supaya semua perhatian teralih kepada batuknya dan nggak melanjutkan lagi obrolan tentang "tidur nggak pakai baju" itu. Jurus sama yang pernah dilakukannya waktu topik ranjang bergoyang dibahas-bahas di meja makan rumah Ratu.

Ratu mengusap punggung Bangsat dengan lembut sambil setengah memarahi, "Kalo makan hati-hati dong, Sayang!"

Emak tersenyum di kursinya, diikuti oleh Bapak yang juga tersenyum senang melihat kasih sayang yang Ratu tunjukkan kepada anak bujangnya. Cuma Sari yang tampaknya nggak peduli dengan sikap perhatian Ratu kepada abangnya.

"Aduh, Emak jadi malu lihat Tria diperlakukan semanis itu sama pacarnya," kata Emak, merona. Dia nyengir lebar, bahagia. "Emak sama Bapak seneng Tria punya pacar secantik kamu, Ratu."

Oji berdiri dari kursi, nggak tahan lagi. Semua yang ada di meja makan ini cuma membuat hatinya sesak. "Oji nggak nafsu makan, Mak," katanya, sambil berusaha untuk nggak menatap ke Kak Ratu dan Bangsat yang masih tampak sangat mesra.

Love, BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang