CHAPTER 3: AQUATICA

117 10 0
                                    

Energi listriknya tak berarti apa-apa di dalam air ini. Ia mulai mengidap thalassophobia (fobia terhadap lautan), terutama ketika ia menatap dalamnya laut yang seakan tak berbatas di bawahnya, menelannya ke dalam ketiadaan.

Ia mendongak. Cahaya di atasnya mulai meredup. Namun tiba-tiba ia melihat bayangan melintas. Rambut hitam panjangnya terbuai dipermainkan air. Ia melihat sepasang mata menatapnya. Kakinya seakan bersatu, melenggang dan meliuk di dalam lautan bak bidadari.

Apa itu ...

Putri duyung ...

Itulah yang terakhir kali dilihat Sancaka ketika ia tak sadarkan diri.

***

Sancaka terbangun dan memuntahkan air. ia terduduk, mulutnya terasa asin sekali dan sekujur tubuhnya basah. Ia mendongak dan melihat orang-orang tengah mengelilinginya. Salah satunya adalah seorang gadis cantik. Ia masih tampak muda. Gadis itu tersenyum melihatnya. Sancaka balas tersenyum dengan wajah memerah.

"Kau baik-baik saja." seorang pria menatapnya. Suaranya terdengar tegas. Tampak kerut-kerut di wajahnya yang tertimpa matahari.

"I ... iya ..."

"Kau tadi jatuh ke air dan tak sadarkan diri. Untuk salah satu anak buahku tahu caranya melakukan napas buatan."

"Oh," wajah Sancaka kembali memerah, "Apa gadis itu yang melakukannya?"

"Apa? Tentu saja aku takkan mengizinkan anakku mencium orang asing!" seru pria itu, "Namun salah satu nelayanku di sana!"

Sancaka menoleh melihat pria berkumis itu dan langsung mengusap-usap bibirnya dengan panik.

"Tapi memang benar putriku yang menarikmu dari dalam air," tambahnya, "Sejak dulu ia memang penyelam yang handal."

Pria itu menoleh kepada Buana yang sedang bersandar ke sisi kapal. "Namaku Willy, seorang nelayan yang tinggal di pulau tak jauh dari sini. Siapa kalian dan bagaimana kalian bisa berada di tengah laut seperti ini?"

"Aku Buana dan dia Sancaka," pemuda itu memperkenalkan diri, "Kami terjatuh dari kapal kami tadi. Beruntung kru kapal Anda menyelamatkan kami. Untuk itu kami berterima kasih."

"Aneh, aku tak melihat satu kapalpun lalu lalang di sini." ujar kapten kapal itu dengan curiga. "Lalu kemana kalian akan pergi sekarang? Kami akan kembali ke pulau kami."

"Pertama saya ingin bertanya, dimana ini?"

"Serius kau tak tahu dimana kalian berada?" nahkoda itu mengangkat alisnya, "Kalian ada di perairan Maluku, tak jauh dari Ambon."

Buana melirik sancaka kemudian berkata lagi, "Apa tidak terlalu menyusahkan jika kalian membawa kami ke Ambon."

"Boleh ya, Pai?" Dhana merajuk pada ayahnya, "Kita antar mereka ke sana."

"Mustahil, Dhana." ujar ayahnya, "Bahan bakar kita hampir habis. Kita takkan bisa mencapainya. Mungkin jika mereka mau menginap semalam di desa, baru Pai antar mereka keesokan harinya."

"Itu juga tidak apa-apa jika itu tidak menyusahkan kalian." ujar Sancaka.

Namun Buana menatapnya dengan pandangan cemas. Sancaka tahu apa arti tatapannya. Bagaimana jika ketiga makhluk itu kembali lagi?

Tetapi mereka tersadar. Terombang-ambing di tengah laut seperti ini, mereka tak punya pilihan lain.

***

Buana dan Sancaka turun di sebuah desa kecil. Pohon-pohon kelapa berjejer di tepi pantai yang berselimutkan pasir putih yang halus. Sancaka justru merasa gembira terdampar di tempat yang bak surga seperti ini. Namun lain halnya dengan Buana. Ia terus saja murung.

GUNDALA: CLASH OF SUPERNOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang