Friendship With(out) Love

200K 6.5K 61
                                    

haaay!! *salim satu-satu*

ada cerita baru ni..silakan mampir dan minta commentnya yaa :)

Aku meregangkan tubuhku di sofa empuk yang terletak di kamar tidurku. Entah sudah berapa lama aku duduk dan membaca novel romantis yang hampir bisa aku tebak jalan dan akhir ceritanya. Namun aku tetap membacanya, karena mengetahui proses berawalnya sebuah cinta, perjuangannya, sampai akhir kisahnya selalu menarik untukku. Meskipun aku sendiri belum pernah menjalani salah satu kisahnya - emm maksudku semuanya- karena aku belum pernah pacaran.

Aku Gwen Lativa. 27 tahun. Lulusan sebuah universitas ternama di ibukota mengambil jurusan bisnis internasional dengan predikat cumlaude. Saat ini aku bekerja di sebuah perusahaan asing yang terkenal. Ayahku berdarah Jerman dan ibuku asli Indonesia. Dan entah ada kutukan apa yang menimpaku hingga aku tidak bisa menemukan cintaku sampai usiaku 27 tahun. Satu kalipun tidak. Sebenarnya banyak yang mencoba mendekatiku, sampai aku membuat daftarnya - juga daftar mengapa semua laki-laki itu harus di tolak. Bukannya aku terlalu pilih-pilih. Namun semua laki-laki itu terus mengerubungiku seperti semut sampai aku merasa kesulitan bernafas.

Mereka semua begitu. Ya mereka semua. Kecuali satu. Makhluk tampan menjengkelkan yang saat ini sedang berbaring di karpet tebal berwarna merah hati di hadapanku dan asyik mengotak-atik iPadnya. Pria ini yang sudah sekitar hampir 20 tahun menjadi sahabatku. Hanya dia yang tidak terpengaruh oleh penampilan fisikku, bahkan aku pernah menyangka dia gay!!

Aku terkekeh pada pemikiranku sendiri membuat Abinaya sahabatku yang akrab ku sapa Abi menolehkan kepalanya padaku dengan pandangan bertanya-tanya.

"apa yang lucu sih?", ujarnya sambil memiringkan kepalanya.

Gosh! He's perfect! Aku gelagapan..

"kamu!..", aku menaikkan novelku tepat di depan muka, pura-pura membaca untuk menutupi wajahku yang merah padam.

Dia duduk terlihat tertarik dengan sikapku. Setelah aku yakin wajahku tidak merah lagi, kuturunkan novelku. Dan melihat mata hitam tajam sedang menatapku geli sambil mengangkat alisnya khas seorang Abi. Dia sudah sangat mengenalku, tanpa di suruh pun aku pasti akan menceritakan apa hal yang membuatku tertawa.

"Ini malam minggu. Dan kamu malah tidur-tiduran di karpet kamarku. Harusnya kamu tu hang out ama temen cowok biar cepet dapet istri!", aku menyemburnya sambil tersenyum. Abi lebih tua tiga tahun dariku, tahun ini usianya genap 30 tahun. Dan tante Gunadi - mama Abi - sudah kehabisan akal menjodohkan putra semata wayangnya. Di usia yang sudah mapan, abi sudah memegang jabatan tertinggi di perusahaan telekomunikasi, dan itu bukan karena ayahnya yang memiliki perusahaan itu. Dia bekerja keras, aku tahu hal itu dengan baik. Dia lulus S2 dengan hasil yang membanggakan.

"jadi bagian mana yang lucu?" dia masih menatapku geli. "kamu sendiri..kenapa nggak mengiyakan ajakan nge-date dari laki-laki yang ngantri di luar sana dan malah duduk sambil baca novel yang udah di baca 4 kali?"

Mengapa berbalik padaku? Pikiran itu membuatku kesal.

"dengerin ya..aku bukan penggemar kencan instan. Aku nggak butuh temen makan dan nonton bioskop, because if I just need it, lo pasti bersedia nemenin. Dan terakhir, aku cuma mau ngedate ama cowok yang bikin hatiku dagdigdug bukan yang asal-asalan." Aku menutup ucapanku dengan terengah-engah.

Sampai sebuah bantal kecil mendarat tepat di depan mukaku. "kalau begitu diem..ganggu orang main game aja.", dia kembali asyik dengan mainannya.

Aku memberengut. Begitulah persahabatanku dengan Abi. Kami saling menyayangi tentu saja. Dia bahkan selalu melindungiku setiap ada yang menggangguku di sekolah dulu. Banyak yang mengira dia pacarku, tapi bukan. Aku dan Abi hanyalah sahabat, dia sudah kuanggap kakak laki-lakiku.

Awal persahabatan kami karena kami tinggal di satu kompleks yang sama. 20 tahun yang lalu, saat aku dan keluargaku baru pindah dari Jerman. Aku merasa malu tinggal disini. Semua anak disini berambut hitam, sementara rambutku ikal berwarna coklat terang dengan bola mata berwarna sama. Mereka memandangku dengan tatapan aneh yang tidak bersahabat. Gadis kecil berusia 7 tahun dan di jauhi dari teman-teman seusianya sungguh kenangan yang buruk. Aku bahkan merengek kepada orangtuaku untuk kembali ke Jerman saja. Namun pekerjaan ayahlah yang mengharuskan aku pindah kesini.

Suatu sore dan aku sedang duduk-duduk di ayunan di sebuah taman bermain di kompleks perumahan. Sendirian. Aku tak punya kakak atau adik yang bisa ku ajak main. Aku menyeret kakiku di pasir di bawah ayunan. Sebenarnya aku malas keluar, tapi bermain di rumah baru yang belum banyak perabotan membuatku bosan. Saat itu tiba-tiba di jalan kecil di samping ayunan, seorang anak laki-laki terjatuh dari sepedanya. Aku langsung bangkit, dan berusaha melihat keadaannya. Dia meringis kesakitan, dan darah mengalir dari lututnya. Aku terkesiap, dan segera mengambil tisu kecil dari kantongku. Aku melihat sekeliling dan merasa senang menemukan sebuah kran air. Aku berlari menuju kran air tersebut, kemudian membasahi tisu dengan air. Aku kembali ke anak laki-laki itu.

Matanya yang hitam hanya bingung menatapku, seperti aku bukan manusia saja.

"tahan ya, aku akan bersihkan lukamu. Mungkin agak perih." Ujarku. Inilah yang selalu di ucapkan miss Carla -guru sekolahku di Jerman- saat aku terjatuh dan dia membasuh lukaku dengan air.

Anak laki-laki itu mengangguk perlahan, ragu dengan sikapku. Namun tidak serta merta berdiri dan pergi, dia hanya mengamatiku dari matanya yang hitam dan bulat.

"okey..aku selesai.", dia meringis menahan perih.

Perlahan dia tersenyum padaku, "terima kasih ya. Namaku Abi, kamu siapa? Kenapa bermain sendiri?" dia menatapku bingung.

"Gwen.. Aku tidak punya teman.", aku hampir melepaskan tangisku, ketika dia kemudian bangkit dari tempatnya terjatuh berjalan menuju ayunan sambil tertatih karena lukanya masih sakit.

Sambil melemparkan senyumnya yang lebar dia kembali menatapku.

"ayo sini main denganku. Kita lihat siapa yang bisa berayun paling tinggi." Ujarnya antusias. Aku tertular oleh semangatnya. Aku berlari ke arah ayunan satu lagi yang di sampingnya. Kami menyongsong senja bersama. Dan hariku tidak pernah sepi lagi. Abinaya Putra Gunadi selalu menemaniku. Mengajarkanku berbagai permainan yang tidak pernah aku tahu. Menjagaku dan melindungiku, bahkan sampai kami sebesar dan sedewasa ini terkadang Abi lupa, aku bukanlah anak 7 tahun yang cengeng lagi.

Friendship With(out) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang