Hari apa ini? Aku terbangun pagi hari dan berusaha mengingat hari apa sekarang. Hari rabu ternyata. Sudah dua minggu aku mengasingkan diri disini. Perlahan-lahan aku mulai menemukan ritme kehidupanku lagi. Aku sudah bisa tertawa saat telepon dengan Fiona. Omong-omong soal Fiona, dia begitu manja padaku belakangan ini. Dalam waktu dua jam dia bisa meneleponku sampai tiga kali. Awalnya aku pikir dia hanya khawatir padaku, rupanya si cerewet itu sedang hamil dua minggu. Ya! Hamil..sebentar lagi aku akan punya keponakan. Dan Fiona selalu menggerutu bahwa babynya yang kangen dengan aunty Gwen.
Mama juga sudah lebih tenang sekarang. Awal-awal kepergianku mama selalu memohon agar aku cepat pulang. Namun sekarang mama bisa mengerti alasan kepergianku. Setelah Fiona menceritakan kondisi Abi yang kacau, aku memutuskan melarang mama dan Fiona memberitahuku apapun soal Abi.
Jahat? Ya, aku memang jahat. Aku tidak bisa menutup mata dan terus bersahabat dengannya, bicara dengannya seolah aku baik-baik saja, namun di belakang aku hancur lebur. Mungkin aku memang terdengar tidak berperasaan, tapi aku tidak bisa berada di sampingnya terus sementara dia sudah jadi milik orang lain.
Hujan yang mengguyur sejak semalam membuatku malas beranjak dari tempat tidur. Kupikir aku akan menghabiskan waktu di tempat tidur saja hari ini, membaca novel yang aku bawa dari Jakarta. Aku berjalan ke dapur untuk membuat hot chocolate. Samar-samar di antara derasnya hujan aku mendengar suara ketukan pintu. Mungkin itu mbak iyen, yang bertugas membersihkan villa ini setiap dua hari sekali. Ah tapi kan dia punya kunci, untuk apa mengetuk pintu.
Aku penasaran karena ketukan pintu tidak juga berhenti. Aku menyeret langkahku di lantai kayu dengan malas menuju pintu. Saat aku membuka pintu bisa dipastikan jantungku merosot. Aku hampir tidak bisa bernafas.
Abi..
Sejauh ini sudah aku berlari menghindarinya, kenapa dia harus mencariku..
Tubuh Abi basah kuyup kehujanan. Wajah tegasnya terlihat lelah dan rambutnya yang acak-acakan kelihatan kusut. Hilang sudah Abinaya-ku yang dewasa, tenang, dan selalu bisa mengendalikan diri dan situasi di sekitarnya, hilang sudah sosok CEO yang membawahi puluhan ribu orang. Yang aku lihat adalah mata anak laki-laki berumur 10 tahun yang kesakitan, kesepian dan kehilangan.
"Kau tidak akan membiarkanku masuk?"
Suaranya menggigil menyentakku dari lamunan. Aku mundur dan memberikannya jalan untuk masuk. Aku mempersilakan Abi untuk duduk di sofa sementara aku mengambil handuk.
Polo shirt hitam dan jeans biru yang dipakainya sudah berubah warna karena basah. Kusampirkan handuk besar berwarna putih di bahunya dan Abi mulai mengeringkan wajah, rambut serta tangannya. Aku ke dapur untuk membuatkan kopi untuknya. Sekarang aku yang bingung harus bicara apa.
"Hay abi..maaf ya aku kabur, aku nggak rela kamu kawin sama sofie."
Atau..
"Abi, aku cinta sama kamu. Cuma ada dua pilihan, pilih aku atau sofie?"
Hikss..norak banget. Segitu desperate nya aku.
Aku melangkah pelan menuju ruang tamu sambil membawa secangkir kopi. Abi sedang duduk bersandar di sofa. Dia menoleh melihatku datang.
"Kamu harus mandi, Bi..aku siapin air hangat ya?"
Aku duduk di sampingnya dan meletakkan kopi di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendship With(out) Love
Roman d'amourMencintaimu adalah hal termudah sekaligus hal tersulit dalam hidupku. Entah sejak kapan Gwen menyimpan perasaan kepada Abi, sahabatnya sendiri. Ini seperti hal yang haram di lakukan, dia dan Abi sudah seperti saudara sekandung. Saat Gwen sedang meni...