when another problem comes

52 8 4
                                    

Flancova International High Scool. SMA paling favorit di Jakarta. Oline berjalan di koridor sekolah menuju kelasnya sambil menggunakan headset di telinga. Seperti biasa, lagu Taylor Swift selalu diputar di ponselnya.
   Hampir sampai di depan kelasnya XI IPS2, ia melihat Freya disana yang sedang tertawa. Di depannya ada Widhi dan Refan. Tanpa berpikir panjang Oline segera menghampiri Freya.
"Oline?"

"Frey, lo tuh ngeselin banget tau nggak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Frey, lo tuh ngeselin banget tau nggak. Nih ya, gara gara lo gua belum ngerjain PR MATEMATIKA!"
"Aduh, emang lo gak denger apa kemarin gue bilang apa?perut gue tiba-tiba mules"
"Alasan itu mah". Widhi menyela pembicaraan.
"Udah deh, pokoknya gue gak mau tahu lo harus ngerjain PR gue sebelum bel masuk"
"Eh gila, sadis banget lu jadi temen"

  
   Mereka berempat sudah bersahabat sejak kelas X. Bagi oline sahabatnya ini sangat penting dalam hidupnya. Walaupun mereka agak idiot, tapi hanya mereka yang selalu membuatnya tertawa dan tidak datang kalau ada perlunya saja. Apa lagi sifat anak-anak di Flancoven yang jaim. Ya, wajar saja karena sekolah ini isinya anak orang kaya dan penampilannya pun keren keren, walaupun ada beberapa yang tidak. Namun Oline dkk tidak suka berlaku jaim ataupun layaknya orang normal. Aneh memang, tapi menurutnya menjadi gila bersama lebih menyenangkan. Berbeda dengan Tiffany kembaran oline dan kawan-kawannya. Mereka sangat eksis di sekolah dan sangat ditakuti.

Pintu kelas tiba-tiba membuka. Wanita yang wajahnya terlihat kira-kira berumur 45-an masuk dan menuju meja guru. Beliau adalah Bu Din, guru sejarah.
"Walaikumsalam". Widhi dengan nada polosnya mengucap salam dengan suara keras sampai sekelas menertawakannya. Bu Din hanya melotot ke arah Widhi tanpa berbicara sekatapun.

"Kenapa tugas kalian yang saya kasih hasilnya gak ada yang diatas 60?". Suara Bu Din membuat kelas yang awalnya gaduh menjadi hening. Tak ada satu siswa yang berani melontarkan jawaban.

"Kalian ini anak ips atau apa?masak mengerjakan soal sejarah saja tidak bisa?coba Widhi kamu maju ke depan!".

"Saya bu?"

"Iya saya manggil kamu!"

"Udah wid, demi Allah lu maju aja. Daripada Bu Din kumat lagi PMS nya". Bisik Refan ke arah Widhi.

Dengan langkah yang tak sepenuh hati akhirnya Widhi maju ke depan kelas.

"Nah saya mau kasih kamu pertanyaan".

"Aduh bu, salah saya apa".

"Salah kamu berbuat tidak sopan!"

"Iya deh bu saya salah, memang lelaki selalu salah".

Huuuuu!!!!! Semua anak dikelas ramai menyoraki Widhi.

"Diam!Widhi, kamu tau kalau nilai tugas kamu yang paling jelek? Sekarang saya tanya kamu kenapa milih ips  kalo pelajaran sejarah aja gak pernah niat?"

"Karena jiwa sosial saya tinggi bu".

Suasana kelas kembali ricuh setelah mendengar ucapan Widhi yang sepertinya tidak berpikir dulu sebelum bicara.

"Yaudah, kalo begitu kamu berdiri disini sampai istirahat nanti".

"Mampus lo wid". Kata Oline.

   Bel pulang sekolah berbunyi. Bunyinya seperti lagu terindah bagi anak-anak sekolah. Oline dan Freya berjalan menuju gerbang sekolah. Saat itu cuacanya panas sekali. Terik matahari yang begitu silau membuat Oline menyipitkan mata. Ia melihat di dekat lapangan basket ada seseorang. Ya, seseorang yang sangat dikenalnya. Badannya tinggi, kekar, dan alisnya yang tebal membuat siapapun jatuh hati ketika melihatnya. Terik matahari yang bersinar tadi kini bersinar lebih indah ketika sinarnya mengenai laki-laki itu. Siapa yang tidak kenal dengannya. Namanya Niko, anak kelas X paling eksis. Memang tidak seeksis dan setampan Gabeielle si ketua osis. Tapi setidaknya sudah masuk dalam kriteria cowok idaman.

"Frey, lo pulang duluan aja. Gue mau ngembaliin buku di perpustakaan."

"Oh, yaudah gue cabut duluan ya".

"Okee".

   Freya segera menuju gerbang dan semakin menjauh. Sebenarnya niat Oline bukan ingin ke perpustakaan namun dia ada janji dengan seseorang. Tepat ketika berada di parkiran dia mengeluarkan ponselnya dan menulai mengetik sesuatu. Rupanya dia mengirim pesan ke tiffany agar dia pulang duluan saja. Namun setelah itu ia mulai mengetik pesan lagi, tapi ditujukan untuk orang lain.

   
    Sekitar 5 menit Oline menunggu dan orang yang dinantinya pun datang.

"Sorry ya nunggu lama. Aku tadi ada latihan basket".

"Gak papa kok." Jawab Oline diiringi dengan senyuman termanis terukir di wajahnya.

Laki-laki itu adalah Niko. Percaya atau tidak Minggu lalu Niko meminta nomor Oline dan seperti anak remaja biasanya. Mereka dalam proses pendekatan. Tanpa basa basi Oline naik di motor Niko. Beruntung karena parkiran sedang sepi. Jadi dia tak perlu repot repot untuk menahan malu.

    Di perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Oline hanya menyibukkan diri dengan memandangi bangunan-bangunan tinggi Jakarta dan kendaraan yang berlalu lalang. Mereka akhirnya tiba ditujuan. Niko berhenti di depan toko buku. Entah apa yang ada dalam pikirannya mengapa Niko mau diajak ke toko buku. Cowok cool seperti dia mana mau menghabiskan waktu di tempat yang penuh dengan buku itu. Yang ada jika lama-lama disana kepalanya pusing.

"Kamu beneran mau nemenin aku nyari novel?"

"Iyalah. Kapan sih aku gak serius".

Di dalam, Oline sibuk mencari novel yang akan dibelinya. Sedangkan Niko hanya melihat lihat buku yang tidak dipahaminya.

   Setelah menemukan novel yang dicarinya. Oline segera mengambil. "Spring in London karya Ilana Tan?". Suara Niko tiba-tiba terdengar.
"Iya, kamu tahu buku ini?"
"Ah ngaco, mana mungkin aku tahu. Adik aku yang suka karya-karya Ilana Tan".
"Adik kamu suka Ilana Tan? Wah kok sama".
"Eh iya, sini biar aku yang bayar".
"Gak usah".
"Udah jangan bawel."

Niko membawa Oline pulang ke rumahnya. Tanpa berniat ingin masuk terlebih dahulu, ia memilih untuk langsung pergi.

    

    Oline membuka pintu rumahnya. Ia berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Namun langkahnya terhenti. Ia melihat mamanya menangis di sofa dan di sampingnya ada Tiffany yang juga ikut meneteskan air mata. Pemandangan apa lagi yang dilihatnya. Apa ini ada hubungannya dengan apa yang dia lihat di cafe kemarin.

"Ini ada apa?"

"Maafin gue lin".

"Maaf buat apa?"

"Papa kamu pergi dari rumah dan akan menceraikan mama".

"APAA??". Seperti bom yang baru diledakkan di hatinya. Apa yang ditakutkannya sekarang malah menjadi kenyataan. Oline tidak sanggup dengan hal ini. Ia berlari menuju kamar dan langsung membanting badannya di atas kasur. Tiffany berlari menyusulnya dengan rasa penuh bersalah.

"Gue bilang apa sama lo! Jangan bilang apa-apa ke papa. Puas atas apa yang udah lo lakuin?". Oline meneriakkan kata-kata itu ketika mengetahui tiffany masuk ke kamarnya.

"Gua gak bermaksud buat bikin semua jadi kayak gini. Lo mikir dong! Gue gak bisa biarin mama ngehianatin papa terus. Mau sampai kapan?"

"Lo tuh egois ngerti gak? Sekarang semuanya udah hancur."

"Jangan lo kira gua gak sama hancurnya kayak hati lo. Tapi bisa gak, sedikit aja lo jangan terus terusan nyalahin gue!".

"Mending sekarang lo cabut dari sini deh. Semua udah gak ada artinya lagi, sama kayak hidup gue."

Dengan air mata yang semakin deras tiffany pergi meninggalkan Oline sendiri. Biar saja dia menyesali apa yang tidak bisa dibatalkan. Sederas apapun dia menangis dan sekeras apapun dia meronta, tidak akan bisa mengubah apapun.

FEARLESS QUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang