Chapter 4

20.3K 1.2K 60
                                        

Alika memandang malam gelap beserta air hujan yang turun dengan sangat deras, mengguyur seluruh bumi dengan bertumpah ruah. Rintikan hujan itu turun membasahi telapak tangannya yang tirus saat tangan itu ia rentangkan, membuat rasa dingin dari buliran hujan itu menusuk sampai kulit terdalam. Menimbulkan germeltuk gigi dan sensasi dingin yang menggigil. Tetapi Alika masih bertahan merasakan tetesan dingin itu, Alika tidak mau sensasi asing yang ia rasakan dari hujan malam ini berakhir.

Sebenarnya Alika tidak terlalu suka dengan hujan, apalagi disertai dengan petir yang bergemuruh, Alika sangat membenci itu. Tetapi hujan kali ini sedikit berbeda. Entahlah, seperti ada rasa sedikit nyaman saat rintikan hujan itu berjatuhan di telapak tangannya yang mungil. Kegugupan yang sedari tadi bersarang di hati kecilnya kini mulai memudar seiring rintikan hujan itu menyentuh kulitnya, membagi setiap keluh kesahnya, berjatuhan mengalir bersama hujan.

Apa hujan ini adalah kiriman Tuhan untuk menemaniku dalam situasi ini? Mencoba meyakinkanku bahwa keputusan Ayah adalah keputusan yang terbaik.

Alika berharap yang ia pikirkan adalah benar. Hujan itu seperti bentuk bantuan dari sang maha kuasa untuk melewati malam yang sebenarnya Alika pun tidak mengharapkannya datang.

Tetapi bagaimanapun Alika harus tetap menghadapinya, melawan rasa gugup yang timbul karena akan segera bertemu dengan calon suaminya. Sedikit terdengar miris memang. Alika sedikit pun tidak mencintai dan mengenalnya sama sekali, Alika tidak tahu seperti apa rupa wajahnya.

Apakah ia sangat tampan atau jelek? Apakah ia seorang laki-laik baik atau buruk? Semua itu yang selalu muncul dalam pikirannya, membuat ia sedikit ragu. Alika hanya bisa pasrah atas semua keputusan dari kedua belah pihak, terlebih dari Ayahnya sendiri. Walaupun Alika sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Kenapa berdiri di situ, nanti kamu basah Sayang."

Suara lembut itu membuyarkan lamunan Alika, ia mencoba menoleh ke asal suara dan mendapatkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik ada di hadapannya. Sedang menyunggingkan senyum dan menatapnya. Walaupun raut wajah itu beberapakali tersenyum tapi Alika tahu bahwa Ibunya sedang menahan sedih.

Alika mencoba tersenyum saat Rahmi menghampiri.

"Kenapa berdiri di balkon, hujan malam ini sangat deras, nanti riasannya luntur terkena air hujan." Rahmi berkata dengan suara serak, masih mencoba untuk mempertahankan senyumannya.

"Tenang saja Bunda, aku hanya berdiri di sisi pagar, hujannya tidak akan mengenaiku."

Alika sedikit menenangkan, kemudian mengajak Rahmi masuk ke dalam kamar, dan duduk di sisi ranjang. "Apa mereka sudah datang?" tanya Alika mencoba mengalihkan susana.

Rahmi mengangguk. "Mereka sudah datang."

Alika tersentak. Kedatangan mereka begitu cepat, bahkan Alika berharap mereka tidak jadi datang ke sini. Tetapi apa yang ia dengar, mereka bahkan sudah datang.

"Sebelum turun perbaiki dulu penampilan kamu, Bunda ke bawah dulu." Rahmi mengelus surai Alika lembut lalu mulai melangkah pergi meninggalkan tubuh mungil Alika.

Alika mulai merasa ragu, jantungnya semakin berdebar kencang karena gugup. Mengembuskan napas pelan lalu berjalan dan duduk di kursi rias menghadap cermin besar di depanya. Tangan mungil nan lentik itu mulai memperbaiki makeup dan rambut yang sedikit basah karena air hujan. Saat penampilannya terlihat sempurna, Alika kemudian mulai turun untuk bertemu dengan tamu yang sudah menunggunya sedari tadi.

Derap langkah Alika sedikit tersamarkan karena suara detak jantungnya yang berbarengan. Membuat Alika menjadi semakin gugup karena itu.

Saat tangga terakhir ia pijaki, Alika mematung tidak bergerak melihat sosok yang sedang bercekrama dengan Ayahnya. Alika sangat tekejut. Ia berpikir Ayahnya akan menikahkan dirinya dengan laki-laki paruh baya yang sangat jelek, beruban dengan perut buncit serta tatapan mesum khas laki-laki hidung belang, nyatanya pria itu begitu tampan.

Secret DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang