Aksa & Bara [BL Story]

2.7K 143 107
                                    

"Lè ... Bapak ora iso ngirimi kowè duit. Sawah Bapak mari keno banjir. Kowè seng sabar yo, Nak. Mengko Bapak golèkkè silihan nèng bank. Bèn kowè tetep iso kuliah." (Lè ... Bapak nggak bisa ngirimin kamu uang. Sawah Bapak habis kena banjir. Kamu yang sabar ya, Nak. Nanti Bapak carikan pinjaman di bank. Biar kamu tetep bisa kuliah.)

Suara Bapak yang terdengar sedih, membuatku tak tega untuk menambah beban di pundak rentanya. Sebisa mungkin, aku tidak menghela napas mendengar berita yang Bapak sampaikan. Bagaimanapun juga, yang membiayai hidupku di kota besar ini tetaplah uang dari hasil panen sawah Bapak.

"Injih, Pak. Bapak pun sumelang. Aksa tasih gadah arto kok, Pak. Njenengan pun mikir kathah-kathah, Aksa kuwatir mangkè Bapak gerah," jawabku berbohong agar Bapak tidak semakin sedih mendapati diriku yang terlunta di sini. (Iya, Pak. Bapak nggak usah khawatir. Aksa masih punya uang kok, Pak. Bapak jangan banyak berpikir. Aksa khawatir nanti Bapak sakit,)

"Iyo, Lè. Yo wes, kowè sèng ngati-ati yo nèng kutho gedè. Ojo gawè Bapak lan Ibumu wirang. Sekolah sèng bener. Ojo lali marang agama lan adat-istiadatmu!" pesan Bapak dengan sangat bersahaja. (Iya, Lè. Ya udah, kamu hati-hati ya di kota besar. Jangan buat Bapak dan Ibumu malu. Sekolah yang benar. Jangan lupa sama agama dan adat-istiadatmu!)

Aku tersenyum haru mendengarkan petuah Bapak yang tiada hentinya untuk terus mengingatkanku agar berhati-hati selama berada di kota metropolitan sebesar Jakarta ini.

"Injih, Pak," jawabku dengan bahasa jawa kromo halus. Kebiasaanku jika sedang bercakap-cakap dengan Bapak.

Setelah itu, percakapanku dengan Bapak pun berakhir sampai di sana. Belum sempat aku mengistirahatkan pikiranku tentang biaya kuliah dan biaya hidup selama di sini, pintu kamar kosku diketuk oleh seseorang dari luar dengan sangat keras hingga menimbulkan suara gaduh.

"Aksa! Cepet buka pintunya! Saya tahu kamu di dalam!" teriak orang itu dengan suara membahana.

Aku pun segera membuka pintu kamar kosku dan mendapati wajah garang pemilik rumah petakan yang aku tempati sekarang ini. Dengan wajah galaknya, dia menatapku seolah biji matanya akan melompat saat itu juga.

"Gimana? Kapan kamu mau bayar kos? Ini udah dua bulan dan kamu cuma janji-janji terus! Ini bukan lagi kampanye, jadi saya nggak butuh janji kamu!" maki Ibu kos padaku yang mungkin sudah tidak tahan lagi karena aku belum juga membayar sewa hingga jatuh tempo kedua.

"Iya, Bu. Kasih saya waktu seminggu lagi. Nanti pasti saya bayar. Ibu nggak usah khawatir," mohonku pada wanita seumuran Ibuku di kampung itu.

Ibu kosku mendengus kasar dan mengacungkan ketiga jarinya di depan wajahku lalu kembali melotot galak padaku. "Tiga hari atau kamu keluar dari sini!" ujarnya dan langsung nyelonong pergi tanpa menunggu jawabanku.

Aku mendesahkan napas berat mendengar keputusannya. Bingung setengah mati memikirkan bagaimana caraku mendapatkan uang untuk membayar tunggakan kamar selama dua bulan ini.

Ditambah lagi, aku baru saja diberhentikan dari pekerjaanku yang lama sebagai kurir pengantar makanan cepat saji yang begitu populer di negeri ini karena pelanggan complain pada waktu pengiriman yang katanya tidak tepat waktu, padahal aku hanya terlambat lima menit saja.

Jika ditelusuri, kejadiannya juga bukan sepenuhnya karena kesalahanku. Waktu itu, aku sedang mengalami pecah ban, dan kondisi sedang hujan lebat. Itu sebabnya, aku tidak bisa mengantarkan pesanan sesuai dengan waktunya.

Dan karena pembeli adalah raja, maka sebesar apa pun aku memberi alasan, supervisor tempatku bekerja tetap memutuskan untuk merumahkanku. Nasib anak rantau yang hidupnya bermodalkan nekat, memang seperti ini. Harus siap menerima pahitnya didera.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang