Caramel Macchiato ☆2☆

577 35 27
                                    

Ketika aku membuka mataku setengah jam kemudian, mobil Vallent sudah berhenti tepat di depan rumahku. Aku tidak tahu dari mana dia mengetahui alamat rumahku. Padahal tadi aku hanya menyebutkan nama jalannya dan belum mengatakan nomor rumah maupun alamat lengkap komplek perumahanku.

Aku melihat Vallent dengan tatapan bingung. Rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal kuat di setir mobilnya. Aku yang masih terkejut karena cara mengemudinya tadi, kini semakin takut melihat ekspresinya.

"Vallent, aku--"

"Masuklah!" kata Vallent dingin.

Aku menelan ludah susah payah mendengar nada dinginnya. Aku tidak tahu jika kata-kataku tadi membuatnya marah. Aku diam menatapnya beberapa saat lalu kuputuskan untuk keluar dari mobilnya.

"Makasih," kataku akhirnya lalu membuka handle pintu.

Aku tidak ingin membuatnya semakin marah. Jadi aku memilih untuk pergi. Rasanya tak tahu diri sekali, sudah diantarkan pulang tapi aku malah bersikap kasar padanya.

"Tunggu!" cegah Vallent.

Aku menghentikan gerakanku dan melihat Vallent dengan kening berkerut. Tatapan mata Vallent berubah lembut lalu tanpa kuduga, pemuda di depanku ini menarik tengkukku dan mencium bibirku. Mataku membelalak lebar. Aku sangat terkejut dan refleks mendorongnya menjauh.

"Vallent, apa-apaan kamu?!" tanyaku marah.

"Aku cuma mau nunjukkin sama kamu, kalau di dunia ini masih ada orang yang mau mencintai kamu. Kamu juga masih berhak bahagia," kata Vallent lembut.

"Tahu apa kamu tentang aku? Kamu sama sekali nggak tahu apa pun! Terima kasih karena udah peduli. Tapi cukup sampai di sini saja kepedulianmu. Jangan bertindak terlalu jauh dan melampaui batasanmu!" kataku ketus lalu dengan sangat marah aku menutup pintu mobil Vallent dengan hentakan keras.

Aku bergegas masuk ke dalam rumahku dengan tangis yang berderai. Vallent tidak tahu jika apa yang dilakukannya itu, membuat pertahanan diriku yang sejak kepergian Sandi berusaha kubangun untuk membentengi diriku dari siapa pun yang ingin merobohkannya, kini sedikit demi sedikit mulai retak karena kehadirannya.

Ketika langkah kakiku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Tangisku sudah tak tertahankan lagi. Aku menangis dalam diam dan tak ada suara yang keluar dari bibirku sampai suara Mama mengagetkanku dan membuatku buru-buru menghapus air mataku.

"Lea, kamu sudah pulang, Nak?" tanya Mama di tengah cahaya remang-remang ruang tamuku.

"Iya, Ma. Lea pulang. Mama belum tidur?" tanyaku dengan suara yang terdengar parau.

"Mama kebangun karena dengar suara pintu terbuka. Kenapa malam banget pulangnya?" tanya Mama sambil menyalakan lampu di ruang tamu dan berjalan ke arahku.

Aku buru-buru menghampiri Mama dan meraih tangannya untuk kucium.

"Iya, Ma. Lea lembur tadi. Maaf udah buat Mama khawatir," kataku mencoba tersenyum.

Mama menatapku lembut lalu mengusap bahuku.

"Sepertinya kamu mengalami hari yang berat. Cepet mandi dan segera beristirahat!" ucap Mama lembut.

Aku pun mengangguk dan mencium pipi Mama sebentar.

"Lea ke kamar dulu ya, Ma. Mama tidur lagi aja!" kataku dengan suara lirih.

Mama mengangguk lalu aku pun beranjak menuju kamarku. Kamarku juga Sandi ketika masih hidup dulu.

Setelah meletakkan tasku, aku segera meraih foto pernikahanku bersama Sandi yang kuletakkan di dekat lampu tidur dan memeluknya erat sambil menangis tersedu. Kuusap wajah Sandi dalam foto itu yang tersenyum menatapku penuh cinta.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang