Caramel Macchiato ☆1☆

1.3K 39 19
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, aku akan selalu duduk di sini. Menatap ke luar jendela dengan titik-titik air hujan di bulan Desember.

Di sebuah sudut kedai kopi yang akan selalu menjadi tempat favoritku setahun belakangan ini, dengan secangkir espresso yang masih mengepulkan uap panas.

Tanpa terasa pula, sudah setahun ini aku kehilangannya dan segala kenangan tentangnya tak pernah pudar, meski aku tahu jika dia telah bahagia di haribaan-Nya, sekarang.

Dia adalah pria yang telah menjadi teman hidupku selama kurang lebih lima tahun ini. Pria yang juga telah memporak-porandakan hatiku setelah kepergiannya yang tanpa pesan.

Jika ingin menyalahkan takdir, mungkin inilah takdir yang terburuk dalam hidupku. Ditinggalkan oleh orang yang sudah kita anggap sebagai belahan jiwa, rasanya teramat sangat pedih dan tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Mengingatnya akan membuat lubang di hatiku semakin menganga lebar.

Tetapi sayangnya, aku tak bisa menyalahkan takdir. Aku percaya, jika semua yang terjadi setahun lalu padaku juga atas kehendak Yang Kuasa.

Kutarik napas panjang sejenak lalu meraih cangkir espresso-ku. Menghidu aromanya kemudian menyeruputnya sedikit demi sedikit. Merasakan tiap tetesnya mengalir memasuki tenggorokanku dan berakhir di lambungku yang belum terisi apa pun sejak pagi. Rasa asam dan pekatnya kopi hitam, membuatku kembali mengingatnya dan semua tentangnya.

Kedai kopi ini juga menjadi tempat favorit kami berdua, dan di tempat ini pula kejadian itu bermula. Waktu itu, Sandi memintaku untuk menunggunya di sini, sementara dia masih harus menunggu jam istirahat kantornya yang tak jauh dari kedai. Dengan sabar aku menunggunya sambil melanjutkan menulis sisa cerita dari novel romance yang kubuat.

Hingga sejam berlalu dan sudah lima lembar halaman kutulis, Sandi tak juga muncul maupun mengirimkan pesan padaku.

Aku tak ingin menaruh pikiran buruk di kepalaku dan tetap menunggunya dengan sabar sampai suara benturan keras mengagetkanku. Suara itu datangnya dari arah luar kedai. Aku berpikir, mungkin saja itu suara geledek karena hari sedang hujan lebat. Namun aku salah. Sesuatu yang lebih mengerikan dari itu telah terjadi.

"Ada kecelakaan!" teriak salah satu pelayan kedai waktu itu.

Aku terkesiap dan langsung berdiri melihat ke luar jendela. Beberapa orang langsung berkumpul di tengah hujan. Jantungku mencelos dan mendadak tubuhku bergetar. Kakiku terasa sangat lemas dan pikiran-pikiran buruk langsung menghantuiku.

Hujan di luar tak berhenti turun dan malah semakin deras. Tiba-tiba saja, air mataku mengalir tanpa kusadari. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Mendadak dadaku terasa sesak dan aku kesulitan bernapas.

"Permisi," ucap seorang pelayan yang mengagetkanku dari rasa gelisah yang tiba-tiba menyerangku tanpa kutahu apa sebabnya. Aku menatap pelayan itu dengan pandangan penuh tanya.

"I-iya, Mbak, ada a-apa?" tanyaku yang mendadak gugup melihat wajah pucat yang ditunjukkan pelayan itu padaku.

Beberapa kali aku melihat dia menelan ludah lalu melihat ke luar jendela dan kembali melihatku, masih dengan wajah pucatnya. Bibirnya membuka dan menutup tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Pelayan wanita yang mendatangiku adalah pelayan yang sering sekali melayani pesananku dan juga Sandi.

Dan karena hal itulah, aku semakin yakin jika apa yang akan disampaikannya berhubungan dengan Sandi dan sesuatu yang terjadi di luar sana.

Kakiku semakin lemas dengan dada yang berdegup kencang. Aku berlari secepat yang aku bisa dan tak memedulikan pandangan aneh orang-orang yang melihatku berlari menerjang hujan.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang