Doa Untuk Ibu

576 28 14
                                    

"Pulang pagi lagi Ris?"

"Iya, Bu. Tadi ada bos besar minta ditemenin sampai pagi," jawab Risma sambil memijat bahunya yang terasa pegal.

"Ibu, jam segini kok udah bangun?" tanyanya lagi sambil memandang wanita setengah baya yang sedang membuka tutup panci di atas kompor yang mengepulkan uap panas.

"Masak air buat kamu mandi," jawab Ibunya singkat.

"Udah, Bu. Ibu istirahat aja. Biar Risma yang jagain airnya," ucap Risma dengan wajah kuyu.

"Nggak papa, lagian ini juga udah hampir subuh. Ibu mau sekalian masak buat anakmu. Hari ini dia berangkat lebih pagi, katanya ada ulangan," jawab sang Ibu yang bernama Kusmiati. Biasa dipanggil Mbah Kus oleh para tetangga.

Risma mengangguk kecil lalu berdiri hendak masuk ke dalam kamarnya.

"Ris ...," panggil Ibunya yang membuat Risma berbalik dan menatap Ibunya penuh tanda tanya.

"Iya, Bu," jawab Risma lirih.

"Sampai kapan kamu kerja kayak gitu? Safira makin besar. Kamu juga harus pikirin bagaimana perasaannya," ujar Ibunya lagi yang seketika menghentikan niat Risma masuk ke kamar dan membuatnya kembali duduk di depan meja makan.

Hatinya serasa dicubit dengan perkataan Ibunya. Dia tahu jika pekerjaan yang dijalaninya sering mendapatkan cemoohan dari para tetangga yang suka ikut campur urusan orang. Seringnya dia pulang dini hari, membuat orang beranggapan jika dia seorang wanita yang menjajakan dirinya pada om-om senang.

Tetapi inilah pekerjaannya, keahliannya, dan inilah bidangnya. Sehingga, mau tak mau Risma tetap melakukannya meski dipandang hina oleh masyarakat.

Sebagai seorang penyanyi klab malam dan seorang pemandu lagu di sebuah tempat karaoke, pekerjaannya kerap dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Bahkan sebagian besar menganggapnya sebagai wanita pekerja seks komersial.

Padahal apa yang dilakukannya tidaklah serendah itu. Dia pun tidak pernah mau memenuhi permintaan semacam itu dari para pelanggan karaoke, meski mereka sering sekali bersikap kurang ajar padanya.

Risma selalu menjaga kehormatannya, meski dulu dia pernah melakukan kesalahan di usia muda, tetapi bukan berarti dia mau diperlakukan seperti manusia rendahan oleh para laki-laki yang haus akan nafsu birahi. Dia tetaplah seorang wanita yang ingat kodratnya sebagai seorang ibu yang memiliki anak gadis.

Dia tidak ingin jika apa yang dilakukannya, membuat putri semata wayangnya ikut dipandang hina oleh pergaulan sosialnya. Sayangnya, Risma tidak bisa menutup mulut orang-orang yang menggunjingnya satu-persatu. Dan yang bisa dilakukannya hanyalah diam dan bekerja demi masa depan keluarga juga putri tunggalnya, Safira.

"Terus Risma harus kerja apa, Bu? Keluarga ini butuh biaya setiap harinya. Fira juga makin tinggi pendidikannya. Cuma pekerjaan ini satu-satunya yang bisa bantu kondisi ekonomi kita. Risma ingin Fira sekolah sampai ke perguruan tinggi, biar nggak bodoh kayak Ibunya ini," ucap Risma mencoba tak meninggikan suaranya di hadapan Ibunda tercinta.

Wanita yang telah melahirkan Risma tiga puluh lima tahun yang lalu itu, menatap putrinya yang nampak letih dengan pandangan lembut penuh keibuan. Dia paham jika putrinya bekerja keras demi keluarganya, demi masa depan putrinya. Tetapi orang lain tidak melihat itu, mereka hanya melihat rendahnya pekerjaan yang dilakukan Risma saat ini.

Terkadang wanita tua itu menyalahkan dirinya yang tak mampu memberikan pendidikan yang layak untuk putrinya karena keterbatasan dana, mendiang suaminya yang hanya seorang buruh kasar tidaklah mampu menyekolahkan Risma lebih dari SMP. Akibatnya, putrinya itu harus mencari pekerjaan yang dipandang rendahan oleh masyarakat.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang