PROLOG
Joan tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Dia telah melakukan pekerjaannya ini setidaknya seratus ribu kali bersama adik perempuannya. Gadis itu berdiri di halaman belakang rumah di bawah bentangan langit tengah malam, menahan dingin udara yang menggerogoti kulitnya, dan melirik ke sana-sini was-was. Sesekali telinganya melentik saat menangkap dengung nyamuk atau lantunan suara jangkrik yang ada. Bahkan tangannya otomatis menempel pada gagang pedangnya dan beberapa kali dia hampir mencabut pedang hanya karena mendengar geraman Guinevere. Rasa-rasanya dia jadi paranoid sekarang. Seharusnya dia kan sudah terbiasa.Klik!
Telinga Joan berkelindan dan dia menghunus pedang tanpa tedeng aling-aling. Matanya nyalang memeriksa sekeliling.
"Shhhs!" Guinevere mendesis dengan satu jari di bibirnya. "Ini aku. Santai saja, kenapa?"
Joan memandangi wajah jengkel adiknya yang tertutup topeng sehingga hanya sepasang matanya yang terlihat. Tudung merah marun menutupi kepala Guinevere, membayangi separuh bagian atas wajahnya. Meski remang-remang, Joan bisa melihat kilat kekesalan di mata Guinevere. Dia mengangguk dan menyimpan kembali pedangnya.
Guinevere mengantongi perkakas lockpick-nya. Dia mendorong pintu besar di hadapannya dengan satu tangan. "Sudah terbuka," katanya ceria. "Mari masuk."
Keduanya berentetan masuk sembari mengendap-endap. Lantai kayunya mengeluarkan derit kecil saat ujung kaki Joan menyentuhnya. Rumah ini sangat gelap dan berdebu. Hanya kilau sinar bulan dari jendela yang menjadi sumber cahaya, menyinari setiap lekuk benda-benda yang ada. Joan melihat siluet kursi-kursi, vas bunga yang penuh kuntum bunga, dan beberapa jam meja. Dia berhenti sejenak untuk menjejalkan salah satu jam meja ke dalam karungnya.
"Untung tidak ada orangnya," ujar Guinevere pelan.
"Cepat ambil barang-barang berharganya," perintah Joan, mencomot beberapa bros hias dari dalam sebuah lemari kaca.
Guinevere terkikik. Dia mengangkat cangkir sebesar telur dengan pinggiran berukir. "Aku mau ambil cangkir ini buat Xander. Imut. Xander pasti suka."
"Jangan berikan apa pun kepada Xander," tegas Joan. Dia menyelipkan helai rambut merahnya yang mengganggu pandangan ke dalam tudung. "Yang kita ambil di sini harus dijual atau dilelang. Jangan berikan kepada siapa pun apalagi Xander."
"Oke, oke. Aku paham kok." Guinevere menjejalkan cangkir imut itu ke karungnya sendiri. "Eh, coba ke ruangan lainnya. Pasti masih banyak yang bagus."
Joan mengikuti Guinevere di depannya, sesekali melihat sekeliling untuk mencari benda berharga yang ada. Crossbow yang tergelantung di punggung Guinevere mengeluarkan suara berkelenting, bikin Joan ingin menutup telinganya. Namun dia harus waspada dan cepat. Tidak ada waktu untuk menutup telinga.
Ketika mereka sampai di ruangan besar yang mirip aula pertemuan, Joan nyaris memekik senang. Ada banyak barang antik di sini, dan dia bisa melihat semuanya berkat nyala beberapa batang lilin yang diberdirikan di meja bulat di tengah ruangan. Siapa pun yang membiarkan lilin menyala tanpa pengawasan, pasti pikun atau cuma lalai. Di dindingnya terdapat pajangan pedang, perisai, kepala rusa, dan lukisan-lukisan. Ada karpet bulu beruang dengan kepalanya mencuat digelar di muka perapian mati. Wajah beruang itu penuh teror dengan mulut terbuka. Joan segera mendatangi karpet beruang itu, melipatnya, dan menjejalkannya ke karung.
"Buat apa ambil itu?" tegur Guinevere yang mengantongi benda-benda kecil dari lemari kaca di sudut ruangan. "Mending ambil yang di sini saja. Ada benda hias yang kelihatannya mahal."
"Karpet sedang laris-larisnya," jelas Joan sambil menginjak pelan karpet agar muat di dalam karungnya. "Kau ambil saja yang di dalam lemari itu."
"Okelah, Kak," Guinevere menggerutu.
Tiba-tiba Joan mendengar kerasak-kerusuk yang kedengaran seperti langkah kaki dan suara orang-orang. Dia bergidik, peluh bercucuran membasahi kulitnya. Setahunya, rumah ini sudah ditinggal pemiliknya berbulan-bulan lalu. Bahkan ada yang bilang kalau pemilik rumah sudah mati di dalam rumah tapi entah kenapa tidak meninggalkan bau busuk. Apakah itu tadi suara ... hantu?
Bodo amat! Mau hantu atau apa, Joan tidak rela dirinya dan adiknya sampai tertangkap. Mending kabur duluan bersama barang-barang ini.
Gadis itu memikul karung ke punggung, dan berbalik ke arah pintu. Tujuan utamaya saat ini adalah pintu belakang yang dibiarkan terbuka. Ini adalah salah satu peraturan yang dia buat: biarkan pintu terbuka supaya kabur jadi lebih mudah.
"Ayo! Cepat!" dia menjerit pada Guinevere yang sedang menggedong karungnya sendiri. Suara-suara itu semakin keras dan jelas. Joan bisa mendengar teriakan pria dan wanita yang saling bersahutan.
"Siap! Ayo!" Guinevere berseru dan berlari ke arah pintu, meninggalkan kakaknya cepat-cepat.
Joan tidak punya waktu untuk komplain atau apa. Dia menguatkan diri dan minggat. Begitu sampai di luar, dia dan Guinevere memblokir pintu menggunakan balok kayu, gelondong kayu, dan benda-benda yang ada di sekitaran taman belakang–dia mendengar lebih banyak gemeresik di luar sini. Dia tahu kesempatannya kabur sangat tipis, tapi Joan tidak pernah disebut Joan jika dia tidak cekatan. Gadis itu bergegas melompati pagar bersama adiknya, dan mendarat sempurna di sisi lain. Ketika dia menoleh kembali ke rumah targetnya, dia melihat segerombol penjaga dan serdadu istana memenuhi taman. Samar-samar dia mendengar seorang pria memekik,
"Sialan kalian, Kiwi Sisters!"
Joan menyeringai sembari hengkang secepat kilat dari tempat kejadian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Pride and Joy
AdventureMEDIEVAL themed story. Hidup sebagai yatim piatu selalu tidak mudah. Apalagi saat kau harus menjadi pencari nafkah sekaligus panutan bagi adik-adikmu. Begitulah yang terjadi pada Joan Hayward. Joan adalah seorang gadis petani biasa yang mengelola la...