CHAPTER 1

54 5 0
                                    

CHAPTER 1


Berdasarkan omongan orang-orang tua, sebelum kau menanam sesuatu, kau harus membajak tanahnya dulu. Setelah itu, tebar benihnya, siram, dan tunggu hingga buahnya tumbuh. Kalau kau beruntung dan punya uang berlebih, kau bisa beli pupuk agar tanamanmu anti serangga sinting dan bisa berbuah sedikit lebih cepat. Orangtua Joan menganut ajaran tersebut. Mereka menerapkannya sejak awal memulai bisnis perladangan ini, lalu mereka mati.

Joan masih lima belas tahun saat dia menjadi yatim piatu dan mewarisi ladang orangtuanya. Namun Joan bahkan tidak bisa membajak tanahnya apalagi membeli pupuk. Maksudnya, dia masih lima belas tahun! Dari mana dia bisa dapat uang?

Dan di usianya itu, dia sudah harus menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah bagi adik-adiknya. Guinevere waktu itu masih dua belas tahun dan bahkan masih kesulitan mengepang rambutnya sendiri. Apalagi Xander. Dia masih ... demi Tuhan! Dia masih delapan tahun, dan dia tidak pernah berhenti merengek sampai telinga Joan sakit!

Joan sadar, jika dia ingin menghentikan rengekan adik-adiknya, dia sendiri harus berhenti merengek. Gagasan itu tumbuh dalam dirinya, menyatu dengan setiap gram masa tubuhnya dan setiap tarikan napasnya. Kemudian Joan berubah menjadi Joan yang semua orang benci dan sayangi.

Jadi pagi ini, Joan baru saja selesai memanen beberapa labu gemuk dari ladang ketika dia merasa dunia sedang mendukungnya secara penuh. Aneh, sih. Soalnya dia jarang merasa begini. Biasanya Joan selalu kepikiran untuk menghancurkan dunia, dan buruknya lagi, dia tidak tahu kenapa dia punya pemikiran seperti itu.

"Kak, sudah semuanya!" Guinevere berseru girang, mengelap peluh dari dahinya dan mengusap tangan pada rok merah gelapnya. Rambut panjang Guinevere berkibar tertiup angin. Joan bangga pada adiknya yang satu ini. Sudah cantik, pandai memasak, ramah, cerdas, Guinevere juga bisa melubangi kepala orang dengan panahnya. Benar-benar ciri-ciri seorang putri raja.

"Coba kuhitung." Joan mengamati gerobak kecil yang tersambung pada kuda peliharaannya. Joan menamainya Blitz, dan dia bangga pada nama itu. Ada tiga belas labu di gerobak. Uang hasil penjualan bisa digunakan untuk bertahan hidup tiga mingguan. Joan tersenyum tipis. "Tiga belas. Bagus sekali."

"Apa kita akan ke pasar sekarang?" tanya Xander yang matanya berbinar-binar seolah yang ada di gerobak mereka adalah emas bukan labu. Xander berusia tiga belas tahun, seminggu lagi empat belas. Dia pendek dan kerempeng karena orang bilang dia kekurangan gizi–kadang omongan mereka bikin Joan merasa gagal sebagai seorang kakak. Ratusan jerawat bersarang di wajahnya, memberi kesan sedikit berbonggol–ciri-ciri anak usia tanggung yang normal. Bakat bertaninya belum terlihat karena dia lebih suka keluyuran bersama Blitz ketimbang membantu di ladang.

"Ayo!" seru Joan.

Setelah mengunci pintu rumah dan pagar ladang, Joan mengikuti langkah adik-adiknya dan kuda mereka. Xander memimpin di depan sembari berjingkat-jingkat kegirangan, satu tangan memegangi tali kekang Blitz. Guinevere di sebelahnya, berjalan santai. Suasana desa juga sedang tenang-tenangnya hari ini. Aroma masakan menguar ke udara, suara lenguhan sapi dan embik kambing berselisipan dengan suara orang-orang. Samar-samar Joan juga bisa mencium aroma manis mead.

Kadang, Joan merasa cukup dengan hidupnya yang begini. Hidupnya memang serba pas-pasan, bahkan untuk membeli sisir baru saja Joan harus mempertimbangkan tiga kali. Namun ada kalanya dia merasa bangga setelah menjual hasil panen. Ibaratnya, kerja kerasnya terbayar dan dihargai.

Hidup pas-pasan mungkin memang yang Joan dan adik-adiknya butuhkan. Namun sisi egois Joan, yang dia namai Egonya Joan Yang Geblek Mirip Perompak Kebakaran Bokong, selalu ingin lebih. Joan ingin jadi kaya, ingin menikmati seluruh fasilitas mewah seperti yang bisa para bangsawan dapatkan.

Of Pride and JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang