"Bedebah-bedebah keparat!!" Fran Cooks menendang betis besar Samuel sekuat tenaga. Pemuda malang itu mengaduh, melompat-lompat sambil memegangi betisnya.
Rasanya konyol sekali. Padahal dua maling brengsek itu sudah ada tepat di depan mata dan dalam jangkauan Fran. Dengan mudahnya mereka kabur dan bikin kerusuhan di seluruh ruangan. Lihat saja pecahan beling ini, lalu pecahan kaca jendela di sana. Mereka memang cuma dua gadis muda, mungkin seusia Fran juga, tapi mereka punya nyali begitu besar. Fran menggeram menyadari ketidakberdayaannya menebas leher maling-maling itu tadi.
"Hei! Kalau marah, marah saja! Jangan menendangku!" protes Samuel.
Fran menendang Samuel di betis yang satunya. Samuel langsung berdebum terjatuh ke lantai dan memegangi kedua betisnya.
"Fran, tenang dulu," ujar Theresa kalem selagi menuntun Fran duduk di kursi busa berlubang.
"Mereka memang kabur kali ini, tapi bukan berarti besok mereka bisa kabur lagi."
"Dan kita juga punya tanda," sahut Vasco yang berdiri di samping Theresa dan meringis. Gigi putihnya menyala dalam kegelapan.
"Tanda? Tanda apa?" tanya Fran, merasakan seisi kepalanya berdenyut dan hendak meledak.
"Kau melukai salah satu dari mereka di pipi." Vasco menggoreskan jempolnya di tulang pipi kirinya. "Kalau ada penduduk yang pipinya luka, itu berarti dialah si Kiwi Sisters. Atau salah satu dari mereka. Kalau satu terbongkar kedoknya, yang satunya lagi pasti juga akan terbongkar."
"Bisa saja banyak orang punya luka begitu di wajah," bantah Fran, meluruskan kakinya. Theresa berjongkok dan memijiti betis Fran.
"Memang. Tapi dengan bukti tambahan ini, mereka pasti tertangkap."
Suara itu dalam, serak-serak basah, mempesona, dan seksi. Fran seketika menoleh pemilik suara itu, merasakan jantungnya ber-dagdigdug seperti tabuhan genderang. Bahkan dalam kegelapan dan cahaya bulan, Fran bisa melihat sosok Cain. Cain de la Roche yang rambut hitamnya halus dan lembut—kelihatannya. Soalnya Fran belum pernah menyentuhnya—lalu mata abu-abunya yang membius, dan oh, Tuhan! Cain punya senyum mematikan yang mampu membuat Fran melayang di udara tanpa beban apa pun. Di belakang malaikat tanpa sayap dan lingkaran cahaya itu berdiri Titus, pria tak keruan yang tidak menarik sama sekali di mata Fran.
"Sir Roche," sapa Vasco. "Apa kau sempat melihat cewek-cewek maling itu dari persembunyianmu?"
Ini adalah bagian dari rencana mereka. Sementara Fran dan yang lainnya berkelahi dan mencoba menangkap Kiwi Sisters, Cain dan Titus akan mengawasi diam-diam. Entah apa tujuannya.
Cain memandang intens mereka satu per satu, lalu menaikkan alis saat melihat Samuel tergeletak di lantai. "Dia kenapa?" tanyanya.
"Pernah dengar tentang Flu Tulang?" Vasco menuding jempolnya pada Samuel. "Dia kena."
Cain melengkungkan bibirnya ke bawah seakan dia tahu bahwa Flu Tulang adalah omong kosong.
Fran melompat berdiri secepat kilat sampai kakinya menyenggol dagu Theresa—gadis mungil itu merengek—lalu bergegas mendatangi Cain.
"Kau punya bukti tambahan?" tanyanya. Posisinya begitu dekat dengan Cain jadi dia bisa mencium aroma parfum mahal Cain dan aroma seorang Cain.
Cain menyodorkan tangan pada Titus dan menerima segulung kertas. Pria itu membuka gulungan dan menunjukkannya pada Fran dan yang lainnya.
Dalam keremangan, Fran bisa melihat sketsa kasar dua wajah perempuan bertopeng dan bertudung. Yang satu rambutnya hanya terlihat sebagian, mencuat dari sisi kiri tudung berujung runcing. Ada segaris luka di pipi kiri gadis itu. Yang satunya berambut panjang agak ikal, juga mencuat dari sisi kiri tudung. Topeng mereka tidak digambar detail, tapi Fran masih bisa mengenalinya sebagai wajah keparat-keparat sialan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Pride and Joy
AdventureMEDIEVAL themed story. Hidup sebagai yatim piatu selalu tidak mudah. Apalagi saat kau harus menjadi pencari nafkah sekaligus panutan bagi adik-adikmu. Begitulah yang terjadi pada Joan Hayward. Joan adalah seorang gadis petani biasa yang mengelola la...