2

17 1 2
                                    

Seorang pemuda rupawan berambut merah menatap hamparan hijau di depannya dengan gundah. Kedua tangannya berada dalam saku celana, dalam otaknya terus berputar bagaimana masa depan daratan Xazhavah. Di belakangnya, seorang prajurit bersurai emas menanti dengan tenang dengan burung gagak hinggap di bahunya.

"Arkan." panggil pemuda berambut merah tadi. Ia memutar tubuh tegapnya, kulit porselen yang cenderung terlalu pucat itu tertimpa cahaya matahari, membuat penampilannya memesona sekaligus membuat bulu kuduk berdiri. Tatapan berbahaya setajam elang itu seakan menguliti Arkan dalam diam, memaksa kakinya tetap berdiri meski tubuhnya mulai gemetaran. Bahkan, auranya dapat membuat seorang prajurit tangguh seperti Arkan tunduk di bawah kakinya.

"I-iya, Yang Mulia?" jawab Arkan meragu. Pemuda yang dipanggil 'Yang Mulia' menyipit tak suka. Dibelainya surai hitam legam gagak di bahu Arkan dengan ekspresi dingin berbahaya. Ia tampak kejam.

"Di sini, aku adalah seorang Dragna, bukan Mo. Ingat? Bersikaplah biasa padaku dan jangan panggil aku seperti itu." titahnya. Tegas.

"Ta-tapi, Yang Mulia...Yang Mulia Kaisar tak menyetujui usul anda. Bagi beliau...anda tetaplah Pangeran Morkeesant." sangkal Arkan. Suaranya masih bergetar menahan takut. Mefrigan tergelak pelan.

"Dia masih keras kepala, rupanya. Baiklah, panggil aku sesukamu. Tapi jangan dengan sebutan 'Yang Mulia' atau apapun itu ketika kita sedang berada di tengah keramaian atau penyamaranku akan cepat terbongkar." balas Mefrigan. Arkan mengangguk paham. Ia sudah tahu mengenai hal itu. "Apa hal yang ingin kau tanyakan?" tanyanya.

"Ferta devo zel Welyt." bisiknya selirih angan. Suara gemetarnya lenyap dari pendengaran, berubah menjadi bisikan serius seorang prajurit di medan perang. Mefrigan mengangguk paham. Ia meraih bungkusan dari dalam sakunya, memberikannya pada Arkan yang langsung menyimpannya pada kotak kayu berlapis baja. Setelah itu, Arkan menyegel kotak itu menggunakan gembok baja berlapiskan platina. Arkan menyembunyikan kuncinya di dalam sarung pedang.

"Torado afel zel Welyt govra rhidsk." Mefrigan menjelaskan apa isi bungkusannya. Mengangguk paham, Arkan mundur sambil hormat.

"Sortchpav, Yeat Moryas." Arkan menunduk dalam. Terlalu sopan.

Mefrigan hanya mengangguk, samar. "Tchev." balasnya singkat.

"Ah, aku hampir melupakan satu hal!" Arkan menjentikkan jarinya ke udara. "Gariga devo dza Mo Parincass?" tanyanya, ingat sesuatu.

"Frazisk oub daksen aal vust?" Mefrigan mengernyit heran. Arkan buru-buru menggelengkan kepala bersurai keemasannya. Tatapan prajurit itu tampak menyeramkan dengan salah satu matanya yang berwarna merah darah. Sedangkan manik Arkan yang lain tampak menyejukkan dengan iris biru, tampak sedingin di kutub bumi ini.

"Un, Un, Un, Yeat Moryas, Un mas, va Parinc Ander." ralat Arkan.

"Ander, cza? Myask azzet. Fa brisk?" Arkan menggeleng perlahan.

"Saya kembali dulu, Yang Mulia, sampai jumpa lagi di Avvarvo."

"Ya." jawab Mefrigan singkat. Arkan menunduk sekali lagi. Begitu Arkan memacu kuda belangnya menembut hutan, lalu menghilang dari pandangan, Mefrigan mendesah, ia mengusap kasat wajahnya.

"Adik kecil yang malang..." bisiknya dengan netra menatap langit, tatapannya menerawang. Ia lebih dari tahu, bahwa di belakangnya ada musuh berbahaya yang sewaktu-waktu bersiap menyerangnya.

Π*~*Π

Ksatria muda berbaju zirah memasuki aula istana dengan langkah tegap. Suasana mewah tampak kentara di ruangan besar itu dengan singgasana dari kayu jati terbaik, bersepuh emas dan bertakhtakan aneka permata. Di atas singgasana, duduklah seorang pewaris yang menatap kedatangan sang prajurit dengan angkuh. Pandangannya tajam, mata pirusnya menyorot setajam belati yang barusan diasah.

Lost to Emperor'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang