Part 2

12K 1.4K 72
                                    

Ibu Mae tidak bisa tidur semalaman. Ia memikirkan cara untuk menyatukan dua hati menjadi satu. Perjodohan ini harus sukses antara Roland dan Icha. Kesempatannya mencari cara karena putranya masih ada dirumah. Pagi-pagi buta Ibu Mae sudah mandi dan rapih dengan gamis hijau senada. Ia akan menjemput calon mantunya untuk ke pasar bersama.

Dengan langkah riang ia menuju rumah Icha. Andai saja hanya lima langkah, pasti Ibu Mae tidak perlu jalan cukup teriak saja. Ia bernyanyi lagu dangdut 'Pacarku lima langkah', namun ia mengganti liriknya dengan 'Mantuku lima rumah'. Nyanyian sungguh absurd tak apalah yang penting hatinya senang.

Tepat di depan pintu rumah Icha bersiap mengetuk. Ternyata pintu sudah terbuka dengan sendirinya. Icha berdiri dihadapannya sembari membawa ember cucian.

"Mamak, kok ada disini?" Icha menurunkan embernya. Ibu Mae nyengir. Calon mantunya rajin sekali pagi-pagi sudah mencuci pakaian.

"Icha anterin mamak ke pasar yuk,"

"Ta..tapi... Icha ngejemur baju dulu ya, mak." Ibu Mae mengangguk mengerti. Ia duduk di bale bambu menunggu Icha selesai menjemur.

"Nek Siti kemana,cha?"

"Ada di dapur, mak. Lagi masak air," Icha memeras gamisnya lalu dibentangkan ditali jemuran. Icha gadis cantik kulitnya memang putih namun tingginya hanya 155 cm. Dan ia terlihat seperti anak kecil padahal usianya 22 tahun. Perawakannya yang membuatnya terlihat masih muda.

Dikampungnya usia seperti Icha seharusnya sudah menikah. Tapi sayangnya belum ada yang meminangnya karena Icha yatim piatu dan tidak berharta. Status sosial masih menjadi perbandingan di kampung itu. Ia mengajar sebagai guru pengganti di sekolah dasar dekat rumahnya. Ibu Mae tidak melihat status sosial Icha. Kebaikan, keramahan dan kesederhanaan yang dinilainya. Biarlah tak berharta, bisa dicari. Roland sudah mempunyai pekerjaan tetap.

Icha membuang air cucian setelah selesai menjemur. Ia pamit untuk mengganti pakaiannya yang basah. Ibu Mae menunggu dengan sabar walaupun sesekali nyamuk menghampirinya untuk mencium pipinya. Icha keluar dengan gamis dan hijab senada berwarna coklat. Gamis yang warnanya memudar dimakan usia. Ibu Mae segera menggandengnya.

"Sudah pamit sama nenek Siti?" tanya Mae seraya melangkah.

"Sudah, mak." Mereka berdua mengobrol sepanjang perjalanan ke pasar. Melewati pesawahan yang masih hijau dengan matahari yang mulai terbit. Udaranya menyejukkan. Sampai dijalan raya mereka naik angkutan umum.

Di pasar sudah ramai pembeli. Ibu Mae bergegas mencari bahan makanan untuk dimasaknya hari ini. Ia ingin membuatkan makanan kesukaan Roland, putranya. Pecak ikan mas dan sayur lodeh. Icha membuntuti Ibu Mae dan membawakan belanjaannya. Ibu Mae pintar tawar menawar. Bukannya pelit, tawar menawar dalam membeli itu wajarkan kecuali ke supermarket yang ada di usir satpam.

"Icha mau makan apa, nanti sekalian mamak buatkan?" tanya Ibu Mae menoleh padanya.

"Tidak mak, terimakasih." Ia tidak enak, siapa dirinya sampai ibu Mae mau memasakan untuknya. Memangnya dirinya mantu ibu Mae?, keluhnya dalam hati.

"Kenapa? Nantikan kita makan bersama."

"Tidak mamak, terimakasih." Icha menolak.

"Mamak hari ini tidak jualan. Mumpung ada Roland, mamak mau cuti dulu tiga hari." Ibu Mae berinisiatif mencari ayam untuk dibuat ayam goreng. Dan itu untuk calon mantunya.

1 jam berlalu Ibu Mae dan Icha pulang ke rumah. Ibu Mae memaksa untuk membantunya memasak. Icha lagi-lagi menolak beralasan ia mau masak untuk nenek dan kakeknya. Padahal Icha tau di rumahnya tidak ada bahan makanan hanya ada telur. Ia tidak enak setiap hari main ke rumah Ibu Mae. Tetangga selalu mencibirnya.

"Tidak apa-apa, Icha. Nanti masakan yang kita masak dibagi dua buat nenek Siti." Ibu Mae membuka pintu rumahnya. Icha masuk ke dapur menaruh di atas meja.

"Tapi, mak,"

"Adu...aduh.." Ibu Mae memegang pinggangnya.

"Kenapa mak?" Icha terlihat khawatir.

"Ini rematik mamak kambuh kayaknya," Ibu Mae meringis dalam hati tertawa. Ia berbohong karena Icha selalu menolak. Jika seperti ini pasti Icha dengan tangan terbuka membantunya memasak. Icha memapahnya untuk duduk dikursi.

"Kalau gitu biar Icha saja yang masak, mak. Mamak duduk disini ya." Bibir Ibu Mae melebar tanpa sepengetahuan Icha.

"Iya, tolong bantu masak ya, cha." Berpura-pura kesakitan. Icha mengangguk pasti dengan cekatan ia membersihkan ikan mas. Segala bumbu-bumbu yang dibutuhkan. Sedangkan Ibu Mae mengirisi sayuran untuk sayur lodeh di meja makan.

"Hoaam,, mamak dari mana?" tanya seseorang, Ibu Mae melotot. Dan Icha berbalik sampai menjatuhkan sodetnya. Melihat pemandangan itu.

"YA AMPUN ROLAND!! PAKAI BAJU MU!!" teriak Ibu Mae. Icha shock, tubuhnya susah digerakkan. Ia segera memejamkan matanya. Roland yang masih mengantuk terbelalak. Di dapur bukan hanya ada ibunya melainkan gadis itu pun ada. Sontak ia memeluk dadanya lalu kabur. Roland hanya mengenakan boxer tanpa t-shirt. Kebiasaan tidur selalu seperti itu.

"Roland sudah pergi, buka mata mu cha," Icha mengerjapkan matanya seperti burung hantu. Tadi itu apa berbulu dan kotak-kotak, pikirnya. "Maafin Roland ya, Cha. Kalau tidur dia tidak suka pakai baju." Terang Ibu Mae melanjutkan mengiris nangka. Dalam hati tertawa geli.

"Iya, mak," pipinya memanas lalu berbalik sampai lupa sodetnya jatuh. Ia buru-buru menggantinya dengan yang baru.

***

Jantungnya berdebar tidak karuan. Siapa gadis itu?. Pagi-pagi sudah ada di rumahnya?. Roland menenangkan dirinya yang tak kalah shock. Bisa punya penyakit jantung kalau seperti ini, keluhnya. Ia mengatur napasnya yang agak tersengal. Ia berjalan duduk ditepi kasur. Celana boxernya mengerut sampai pahanya.

Ia menepuk jidatnya. Boxernya terlalu pendek pantas saja gadis itu melotot melihatnya.

"Roland, Roland, kenapa pagi-pagi sudah sial!" runtuknya sendiri. Ia mengambil t-shirt yang ia gunakan semalam. Ia mengurung didalam kamar sebelum ibunya memanggil untuk sarapan. Roland segera mandi. Dikamarnya mempunyai kamar sendiri. Ia mengenakan celana pendek dibawah lutut dan tak lupa t-shirt yang pas dibadan.

Sudah merasa rapih, ia keluar kamar dan langsung ke dapur. Disana makanan sudah tersaji di meja makan. Seakan melambai-lambai untuk dinikmati. Namun ia tertegun, dikursi makan tidak hanya ada ibunya tapi gadis itu pun masih berada disana. Roland mencoba tersenyum sedangkan Icha menunduk.

"Sarapan dulu Roland, ada makanan kesukaan kamu. Ini Icha yang buat lho," promosinya dimulai. Roland menarik kursi lalu duduk.

"Keliatannya enak, mak,"

"Yaiyalah, Icha yang buat ini." Promosi kedua. Ibu Mae mengambilkan nasi untuk Roland. Ketika mangkuk sayurnya jauh Ibu Mae menyerahkan piring Roland ke Icha. Gadis itu mengambilkannya lalu diberikan kepada pemiliknya. Moment itu berarti untuk Ibu Mae. Mereka seperti sepasang suami-istri. Semoga saja itu terjadi, amin, doanya dalam hati.

Roland menikmati makanan itu, pecak ikannya memang enak. Kuahnya segar ada rasa asam dari sedikit asam jawa. Ia sampai nambah dua kali. Ibu Mae tersenyum penuh arti. Icha sudah memenangkan perutnya tinggal hatinya saja belum.

Part 2,, udah muncul nie.. Hihihi
Ada kata" yg aku ubah ya. Biar enak dibca,, yg sebelumnya nanti aku ganti... Hohoho

Sorry typo & absurd

Thankyuuu,, Readers.. Muaaaah..

Mantu Idaman (ONLY IN DREAME/INNOVEL/MARIBACA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang