Kara tidak tahu pasti kapan dia mulai jatuh cinta kepada sosok itu. Tapi, ada satu hari yang selalu dia ingat. Hari dimana Kara sadar, bahwa dia sudah jatuh jauh ke dalam pesona seorang Zhang Jian. Hari dimana Kara yakin, bahwa dia memang mencintai lelaki tersebut.
***
Sudah setengah jam lebih Kara terduduk di kursi belajarnya di kamar. Baju yang dia gunakan seharian selama bekerja pun masih melekat di tubuhnya. Padahal biasanya Kara paling tidak bisa berlama-lama memakai baju dari luar rumah yang sudah kotor di dalam kamarnya. Karena selain membawa banyak kuman penyakit setelah beraktifitas di luar, Kara juga selalu merasa gerah.
Tapi, saat ini, bukan hal-hal tersebut yang dipikirkannya. Ada masalah lebih penting yang memenuhi kepalanya sejak tadi. Permasalahan begitu berat yang dialami orang terkasihnya.
Helaan napas keluar dari mulutnya. Matanya terpejam bersamaan dengan tarikan napas dalamnya. Rasanya begitu sesak. Dadanya nyeri. Seluruh tubuhnya sakit. Padahal beberapa jam yang lalu dia masih baik-baik saja. Semua masih baik-baik saja. Hidupnya memang tidak sempurna, tapi dia mensyukuri segala kenikmatan dan kebahagiaan yang dia rasakan.
Tapi, segalanya berubah hanya dalam sekejap mata.
Matanya terbuka saat terdengar suara getaran di atas meja di hadapannya. Dipandangi ponselnya yang bergetar sambil memperlihatkan adanya sebuah panggilan masuk di sana. Wajah lelaki tampan dengan lesung pipi yang menghiasi pipinya, terlihat memenuhi layar ponselnya.
Seakan menyadari apa yang sedang dia butuhkan, lelaki itu muncul tiba-tiba.
"Halo." Kara mengatur suaranya agar terdengar normal. Meskipun ingin mengutarakan apa yang dia rasakan saat ini, tapi entah kenapa ada rasa sungkan yang dia rasakan. Kara tidak ingin membebani Jian dengan permasalahannya. Karena lelaki itu sudah cukup sibuk akan pekerjaannya. Karena itu, dia akan bersikap senormal mungkin terhadapnya. "Tumben nelepon jam segini."
Jian tidak menjawab, terdiam di sebrang. Hanya suara embusan napasnya yang tertangkap telinga Kara. Embusan napas yang terdengar lebih cepat daripada biasanya. Selain itu suara ramai di belakang lelaki itu, menandakan dia tidak sedang sendirian. "Baby? Maaf, aku baru selesai latihan. Makanya napasku habis."
Kara tersenyum tipis mendengar penjelasan lelaki tersebut. "Kenapa tidak istirahat dulu? Biasanya juga kamu telepon kalau sudah sampai di dorm."
"Tidak tahu kenapa, aku ingin mendengar suaramu."
Pengakuan Jian yang begitu terus terang itu, menimbulkan rasa hangat di dada Kara yang sedari tadi terasa sesak. Hangat yang perlahan menjalar ke matanya dan juga membuat tenggorokannya semakin tercekat.
Ke-" Kara berdeham, berusaha menormalkan suaranya yang serak. "Kenapa tiba-tiba mau dengar? Kamu rindu suaraku yang indah?" canda Kara sambil tertawa, meskipun hanya tawa hambar yang keluar dari bibirnya.
Jian diam selama beberapa saat sebelum akhirnya suara lembut laki-laki itu kembali terdengar. "Ya. Aku rindu kamu, Baby."
Kara menekap mulutnya, menahan isakan yang hampir saja keluar. Matanya yang memanas perlahan, mengabur oleh lapisan cairan yang menyelimuti.
"Kenapa?" tanya Kara lirih.
"Kenapa? Memangnya aneh aku rindu kamu?" tanya Jian dengan nada protes. "Kamu sadar tidak kalau kita sudah berteman selama hampir satu setengah tahun? Sudah sangat lama hingga memikirkanmu ataupun merindukanmu, bukan lagi hal yang aneh. Di saat aku senang, kamu lah orang pertama yang akan tahu. Di saat aku sedih, kepadamu juga aku akan melampiaskan rasa itu. Bahkan di saat aku marah, kamu yang jadi penawarnya. Karena bagiku, kamu adalah teman terbaikku. Jarak yang memisahkan tidak akan menjadi penghalang persahabatan kita. Selama hati kita saling tertaut, tidak ada hal yang tidak mungkin."
YOU ARE READING
A Thousand Miles [JianKara Story #1] [5/5]
FanficWhen two hearts are meant for each other No distance is so far No time is so long And no other love can break them apart -Jakarta, 26 November 2016-