BAB 1

414 35 86
                                    

Klarisa Hanson yang lebih akrab dipanggil Risa baru saja tiba di bandara. Ia menunggu jemputannya sambil menikmati alunan musik dari earphone . Sesekali ia melirik ke arah orang-orang yang berjalan melewatinya. Ada yang membawa tas ransel gede, menarik koper, ada pula yang berjalan tanpa bawaan. Sedangkan dia sendiri duduk santai di kursi bersama koper merah maroon-nya. Tiba-tiba saja handphone berdering dan tulisan ‘Tante’ muncul di layar. Dengan cepat Risa menerima telpon itu.

“Halo Tan,”

“Risa! Gimana di Ferla? Betah nga?” tanya Tante dari seberang sana.

“Gue baru nyampe Tan. Mana bisa ngejawab betah atau engga,” responnya sambil tertawa renyah.

“Loh, bukannya kamu sudah nyampe 20 menit yang lalu?” tanya Tante.

“Menurut tiket sih gitu. Gue baru aja duduk di luar nungguin jemputan. Gue kirain mereka sudah nungguin seperti di tv itu loh Tan,” ucap Risa sambil menatap kearah taxi yang tersusun rapi di pinggir jalan. “Tan, gimana kalau gue naik taxi?” tanyanya iseng.

“Jangan. Lebih baik kamu nunggu. Takutnya mereka kelamaan di bandara karena nyariin kamu. Mana tau yang ngejemput kamu orang-orang penting,” ucap Tante.

"Orang-orang penting? Memangnya gue artis?" tanya Risa yang kemudian tertawa. "Oke deh. Udah ya Tan gue tutup dulu teleponnya. Mau keliling nyari cemilan. Laper,” rengek Risa.

“Ya sudah sana. Entar kalau sudah sampai rumah telpon tante lagi ya,” ucap Tante yang diakhiri dengan kecupan. Risa hanya tertawa, tidak berani membalas karena dia sedang berada di tempat umum. Dia pun memasukkan hand phone dan ear phone ke dalam tas ranselnya.

Sambil mengelilingi bandara itu, Risa memerhatikan pakaian orang-orang Ferla. Sejak kecil sampai beberapa menit yang lalu, dia tidak pernah angkat kaki dari London. Bukan hanya perbedaan jam maupun cuaca di bulan Januari, melainkan juga bahasa, fashion, dan gaya hidup pun berbeda jauh. Mulai dari kecepatan mereka berjalan, sampai ke raut wajah. Orang London punya kebiasaan berjalan cepat dan raut wajah mereka pun lebih dingin dan kelihatan acuh tak acuh. Sedangkan orang Ferla sebaliknya.

Karena Risa tumbuh di London, secara tidak langsung kebiasaan itu pun sudah mendarah daging pada gadis berdarah Ferla ini. Sebenarnya jika dia dapat memilih, dia lebih ingin menetap di London dan menemani tantenya.

Sejak kecil orang tuanya sudah mengucilkannya. Di ulang tahunnnya yang ke-10, dia meminta orang tuanya untuk video call atau mengirim foto mereka yang terbaru sebagai hadiah ulang tahunnya. Tapi paketan yang tiba hanya baju baru, tas baru, boneka baru, begitu terus setiap tahunnya hingga akhirnya dia hanya memilih diam. Sebab apapun yang ia minta kepada mereka tidak akan pernah dipenuhi. Dan, orang tuanya entah kena angin apa malah menyuruhnya bersekolah di Ferla.

Apa yang harus dia lakukan di negara yang menurutnya asing?

Fakta dia seperti anak buangan selama ini sudah cukup menyakitkan dirinya. Andai kata dia sudah dewasa nanti, dia akan memilih jalannya sendiri. Dia muak diatur oleh orang-orang yang sama sekali tidak menghargai keberadaannya.

Miss,” Seseorang memanggilnya hingga ia pun menoleh. Pria bersetelan serba hitam itu tersenyum di balik kacamata hitamnya. “You are Klarisa Hanson, right?” tanyanya.

“Ya. Saya ngerti bahasa Ferla kok,” jawab Risa yang masih bertahan dengan wajah dinginnya. “Bapak siapa ya?” tanyanya langsung.

Who ar U?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang