Mereka masih duduk di sana. Di anak tangga yang begitu bersih seakan tak pernah tersentuh. Melihat Hajoon ikut duduk di atas anak tangga bersama sopirnya membuat aura seorang Direktur di dalam dirinya hilang sesaat. Sudah 10 menit sejak kepergian Je Ah. Mereka tidak bisa menebak akan menunggu berapa lama lagi. Saat ini sudah sangat larut, bahkan mungkin sudah dini hari, hanya saja masih dengan langitnya yang gelap.
"Tuan, kau tidak lelah? Mau tunggu di mobil saja?" tegur Yongsup yang sudah bersandar pada dinding.
"Aku baik-baik saja." Hajoon menunduk ke tangannya yang terkulai di antara kedua pahanya.
"Hyung, bagaimana kabar anakmu? Bukankah dia akan masuk sekolah?" Tanya Hajoon tanpa menoleh.
"Hmm, bulan depan dia mulai masuk sekolah." Membuat Yongsup mendadak bersemangat dan langsung membayangkan wajah anaknya.
"Sekolah mana yang menjadi pilihanmu?" Masih menunduk.
"Sekolah biasa. Dekat dengan rumahku."
"Kenapa begitu? Kau bisa saja memasukkannnya ke sekolah terbaik di sini. Aku akan membantumu—" Ia tatap sopirnya itu.
"Bukan masalah uang. Aku hanya ingin anakku menjalani hidup yang sederhana. Jadi nantinya ketika ia sudah dewasa ia tidak akan terkejut lagi apabila sesuatu menimpanya."
Ia tahu itu. Hajoon tipe lelaki penyayang yang selalu mencoba membantu banyak orang. Sikap dingin yang dia perlihatkan hanya bungkusnya, tetapi di dalamnya ada banyak kehangatan yang tidak diketahui banyak orang. Bahkan hampir dari keseluruhan kekayaan yang Yongsup dapatkan merupakan dari Hajoon. Benar bahwa Yongsup sudah bekerja dengan Hajoon selama 10 tahun lamanya. Bahkan Yongsup sudah berkerja dengannya sebelum Hajoon menjadi seorang Direktur yang ditakutkan saat ini. Jika menghitung berapa banyak gaji seorang sopir, tentu tidak akan sebanyak yang ia dapatkan. Itu karena Hajoon selalu memberikannya lebih.
Suara pintu terbanting mengagetkan mereka. Keduanya langsung bangkit dan mendapatkan Je Ah di sana. Bersandar pada pintu yang baru saja wanita itu banting. Wajah Je Ah terlihat bringas dengan air mata yang terus mengalir di wajah manisnya. Kedua tangannya mengepal erat dengan sedikit bercak darah yang menodai jemarinya. Tentu Hajoon melotot melihat keberadaan darah itu.
"Apa yang terjadi? Kenapa tanganmu—"
"Kita pergi sekarang." kata Je Ah melangkah menuruni tangga. "Aaa." Langkahnya terhenti. Kini balik menaiki tangga, Membuka pintu yang tadinya ia banting. "Untuk apa kita menggunakan tangga jika ada lift."
Hajoon dan Yongsup saling tatap sesaat. Sebelum akhirnya keduanya tersentak dan segera menghapiri Je Ah yang sudah berdiri di hadapan lift.
--
Je Ah berselonjor di kursi penumpang bagian belakang. Sedangkan Hajoon duduk di samping Yongsup yang tengah serius menyetir. Kedua lelaki itu tak henti-hentinya melirik Je Ah yang masih saja bungkam. Ingin bertanya, tapi takut disembur dengan kicauan pedas wanita itu. Yongsup tengah berusaha berbicara pada Hajoon. Entah dikarenakan keadaan yang mendadak mencekam, Yongsup sampai takut mengeluarkan suara. Ia menyenggol lengan Hajoon agar tuannya itu melihat ke arahnya. Lalu mulutnya mulai bergerak tanpa suara.
"Apa? Kau bilang apa? Aku tidak bisa dengar." Hajoon tak berniat mengecilkan suaranya. Membuat Yongsup berdecak kesal padanya.
"Dia.. Kita antar ke rumahnya?" bisik Yongsup sedikit mencondongkan wajahnya ke Hajoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE ROMANCE
Romance"Perkenalkan. Namanya Kim Je Ah. Sahabat terbaikku dan juga calon istriku." Kalimat itu berhasil membuat Je Ah tercengang. Hajoon mengatakan kalimat itu dengan sangat mudahnya. Entah kaget atau memang bodoh, dirinya hanya terdiam di hadapan rek...