Langit memancarkan semburat kemerahan dari arah barat. Burung-burung berkicauan dan terbang beriringan melintasi langit. Nampak sekumpulan anak-anak mengejar layangannya yang putus. Sempurna.
"Pipin, ayo pulang!"
Sial, ganggu sang maestro aja.
"Iya, bentar kurang dikit. Langitnya kurang merah."
Kurang sedikit sentuhan lagi lukisan langit senjaku akan selesai. Aku yakin Pak Bambang akan memberi nilai sempurna kali ini. Pak Bambang, siapkah kau untuk jatuh cinta? Jatuh cinta pada lukisanku, maksudnya.
"Ibu kamu nyariin, Pin. Kalo kamu mau tidur di teras lagi, terserah deh," serunya dari kejauhan.
"Banyak cakap kau, budak sahaya," balasku. Kemudian kembali sibuk pada alat-alat lukisku.
Tidak lama kemudian, Bayu sudah berdiri dengan berkacak pinggang di sebelahku, lengkap dengan tatapan garangnya. Aku pun mulai terganggu karena ia berdeham keras berkali-kali. Dasar alay.
"Nyab, liat! Karya asli Epin yang digores dengan imajinasi tinggi dan mempertimbangkan komposisi dan keselarasan warna."
"Ini apaan? Merah-merah, ada item kecil-kecil kayak tomket lagi jalan, terus ada cicak terbang," ucap Bayu sambil memandang lukisanku dengan ekspresi menyebalkannya.
"Idih, kamu nggak ngerti seni sih."
"Maap-maap ya, nilai seniku gak pernah 6."
Bayu memang begitu. Dia suka sekali meledekku, walaupun terkadang memang sesuai kenyataan, tapi seharusnya dia pura-pura memuji sedikit. Namun dibalik sifat jahilnya, Bayu sangat dewasa. Percaya padaku.
Sudah hampir 10 tahun aku mengenalnya dan aku masih teringat perkenalan pertama kami. Hari itu dia baru saja pindah di sebelah rumahku, keluarganya berasal dari Bandung. Sebelumnya tidak ada anak seusiaku di sekitar rumah kami. Ketika mengetahui ada tetangga baru yang seumuran tentu aku senang. Apalagi ia berasal dari kota besar. Berbeda dengan aku yang sejak kecil di desa dan terbiasa dengan aksen jawa yang kental, gaya berbicara Bayu terdengar unik.
"Ngelamun aja,Pin. Ayo pulang!" seru Bayu, membuatku tersentak kaget.
"Sek,sepuluh menit lagi. Aku mau bikin satu gambar lagi."
Ya, aku memang suka melukis bahkan sejak kecil. Namun suka bukan berarti berbakat. Begitulah yang Bayu ungkapkan kepadaku.
"Coba gambar aku," berani-beraninya si tengil ini menantangku. Dengan santai tanganku menari-mari diatas selembar kertas putih.
"Kalo gambar muka orang itu diliat dong yang digambar," protes Ayub. Aku mengabaikannya dan terus menggambar.
"Buset! Kesurupan apaan kamu, Pin? Kok bisa bagus gini?"
"Kepalamu kayak kacang polong, jadi gampang digambar."
Aku sebenarnya pandai menggambar. Sungguh. Tapi hanya wajah Bayu saja yang bisa kugambar dengan baik. Karena entah mengapa, wajahnya terasa mudah untuk kugambarkan.
Hai hai! Part pertama terbit. Ini cerita pertamaku loh! Maaf kalo masih typo, berantakan, dan gajelas. Masih newbie banget nih 😂
-coconud
KAMU SEDANG MEMBACA
BAYU
Teen FictionNamanya Bayu Tirtabawana. Bayu artinya angin, tirta artinya air, sedangkan bawana artinya bumi. Itu nama atau elemen avatar? Karena tidak ingin ambil pusing dengan arti namanya, aku memutuskan menggantinya dengan Nyab. -Pipin