"Aku lahir begitu mungil sehingga mereka dapat memasukanku ke dalam panci kecil dan begitu lemah sehingga kemungkinannya kecil sekali aku dapat bertahan hidup" ~ Isaac Newton
Kau mengeluh bukan karena kekurangan, tapi karena kelebihan. Ini juga bukan soal uang, tapi ruang. Katamu, tak ada lagi ruang untuk menampung buku-buku.
Itu keluhanmu di tahun paling akhir.
Tujuh tahun sebelumnya kau bertanya bagaimana caranya memiliki perpustakaan pribadi di saat yang sama, dalam kota ini, kamu hanya punya satu kamar. Menyewa pula. Kamu berpikir tentang berpindah dari satu ruang ke ruang yang lain. Kau berpikir tentu jika punya perpustakaan, maka menyulitkan untuk berpindah dari satu kos ke kos yang lain. Bila sudah tiba waktunya untuk kembali ke kota asal, misalnya, terbayang betapa repotnya mengatur arus perpindahan barang.
Dan, buku adalah salah satu benda dengan massa yang berat. Juga menjengkelkan untuk dipundaki.
Saat itu, kau tahu, aku hanya mendengar. Kau benar di masa ketika masa masih sibuk melahirkan diktator; atau masa sedang mencari celah bagaimana mengubur diktator terakhir dalam kota yang kauhuni. Membuat perpustakaan dengan menyusunnya di rak-rak kayu atau besi menjadi mustahil bagi seorang aktivis (cih!) yang sibuk macam kau. Pada akhirnya yang terbayang di pelupuk matamu adalah buku-buku itu akan hancur dalam karung atau kardus yang diompoli air-air dari wuwungan.
Tapi, masa berubah. Kau tahu itu. Kau sudah memegang gawai dengan teknologi paling baru dan minthilir yang kau kantongi ke mana-mana. Dan bahkan lantaran sibuknya kau harus menjawab pesan-pesan masuk saat kau mengemudikan mobil lawas kesayanganmu.
Dan kau, di bawah pohon ketapang dekat pantai, bersuara sekuat angin menceritakan rumah mewahmu yang ukurannya hanya 3 x 3 m. Ruang tamu kau tempatkan satu sofa panjang minimalis. Berdempetan dengan meja kerjamu yang berwarna putih, kau membuat undakan menyerupai tangga untuk menuju tempat tidur di loteng yang hanya setinggi 2 meter. Tangga itu sebetulnya lemari pakaian yang berbaris rapat dengan brankas untuk gudang, namun atasnya dibuat undakan menuju kasur tidur. Dapur dengan kompor gas mini untuk memanaskan air yang sebangun dengan meja makan yang berukuran tiga ubin kau tempatkan bersisian dengan jendela. Dan, tentu saja, kamar kakus mungil yang didesain kering.
Sebagai duda yang baru saja bercerai tanpa anak, rumah pribadi berukuran 3x3 sudah cukup ideal. Itu sudah cukup menampung memori masa-masa yang jenial dalam hidupmu: menjadi mahasiswa di kota yang setengah gila dan tengah dalam perjalanan menuju kesurupan.
Lalu, rumah dengan ukuran 3x3 macam begitu, bagaimana membuat perpustakaan. Mau ditempatkan di mana buku-buku dengan massa dan ukuran yang memakan ruang yang besar. Bisa-bisa rumah 3x3 itu jadi gudang yang buruk. Dan buku menjadi penyumbang debu yang banyak dan merusak kesehatan.
Lalu kau bilang, kau mengecer semua buku yang kau beli dengan susah payah semasa mahasiswa ke rumah teman-teman lamamu. Entah bagaimana nasib buku-buku itu kini.
Padahal, di era saat kau menjadi duda saat ini, saat fajar digitalisasi sedang merekah dan menuju siang yang cemerlang, kau hanya butuh dua ubin untuk perpustakaan di kamarmu yang 3x3 itu. Dan ruang dua ubin itu bisa menampung buku jutaan judul yang menemanimu menjadi blogger yang produktif, copywriter, penulis skenario yang data-datanya dibentengi sebuah perpus dengan jumlah koleksi raksasa yang hanya berukuran dua ubin.
Kau tersentak. Dan teringat kembali pada buku-buku yang kau ecer pada teman-teman lamamu. Kataku separuh memerintah seperti jenderal yang payah: panggil kembali buku-buku itu. Jadikan pondasi terdasar untuk bangunan perpus 2 ubinmu.
Jagal mereka!
YOU ARE READING
Perpustakaan Dua Ubin (Fragmen Cerita)
General FictionTentang seorang lelaki yang melatih diri sekuat-kuatnya menjadi manusia kota yang paripurna dengan ruang kota yang makin mahal tiap jengkalnya disertai serangkaian tuntutan gaya hidup sehat yang ditawarkan video-video internet. Tentang seorang...