#4 / Puss si Penghancur Kertas

24 1 0
                                    

Katamu cukup untuk sore ini. Kau telah mengayuh kurang lebih 10 kilometer. Keringat membasahi kaos abu-abu dry fit yang kau kenakan. Kau campakkan kaos tipis itu ke keranjang lipat berkain merah di pojok kamar mandi. Kau tak langsung mandi melainkan hanya membasuh wajah secukupnya dengan sabun herbal untuk menyingkirkan debu dan kotoran jalanan yang dihempaskan bus si raja jalanan dan asap dari lubang anus motor paling menyebalkan raungannya yang di mana-mana mendaku diri raja erex.

Kau merasai pori-pori wajahmu membuka dan rasa sejuk menjalari saraf pikiranmu. Seperti kulit wajahmu, pikiranmu kini ikut lembab. Kau sambar handuk putih kecil yang menggantung di bilah bersusun stainles "jerman brilian".

Lamat-lamat kau dengar suara kertas diremas-remas.

Astaga! Koran Sindo dan Kedaulatan Rakyat yang kau beli di kios koran di jejeran ruko separoh-jadi digrauk oleh Puss. Kucing kampung berbulu kuning api yang kau pungut di pinggir selokan di selatan perkuburan itu seperti tak mempedulikanmu yang tercekat di depan kamar mandi.

Ingin kau berteriak, menjambak, dan menendang kucing kecil yang badannya mulai tampak bongsor itu sebagaimana sering kaulihat ayahmu lakukan kepada kucing hitam kesayanganmu saat kau masih kecil. 

Jika si kucing mengeong cerewet minta makanan di luar jam makan yang sudah diatur sepihak oleh ayah, maka tiga bentakan segera melayang. Nekad naik meja menyerbu mangkuk lauk, satu hajaran tangan kiri ayah menghantam tubuh si hitam yang malang. Kau memekik melihat tubuh kucing itu menghantam eternit putih yang keras. 

Tapi ayah bilang si hitam harus didisiplinkan agar tidak hidup jorok. Ajaib, si hitam berlari ke sudut membawa diam. Lalu rebah dan menjilati bulu-bulunya yang berkilat.

Kau juga ingin "mendisiplinkan" si Puss dengan cara ayahmu menegakkan disiplin kepada semua kucing di kolong langit ini. Tapi, hatimu tidak turut. Apalagi kucing kecil itu tak mempedulikanmu. 

Dua cakar kecilnya terus mencacah kertas koran itu. Untuk merayakan keberhasilannya si Puss berguling-guling bersama Koran Sindo dan Kedaulatan Rakyat yang terluka. Pastilah Puss tak berpikir bahwa Koran Sindo dan Kedaulatan Rakyat yang nasibnya berada di bawah cakarnya adalah produk saudagar-saudagar pers yang pernah dengan bangga dilahirkan peradaban Indonesia yang fantastik dan sekaligus jorok memperlakukan manusia.

Amarahmu tertahan saat melihat front page dua koran itu berantakan mirip wajah jagoan ring Daud "Cino" Jordan yang kau lihat tayangan Live-nya via tv internet semalam. Kau geram karena kau tahu bahwa kau belum mendigitalisasi dua koran itu. Monster ganas yang diwariskan ayahmu lewat kenangan saat kau masih sekolah dasar kelas dua menyeruak kembali saat si Puss tak sudah-sudah melumatkan kertas-kertas itu hingga membentuk buih-buih putih di lantai ubin.

"Haiiii, Puss!" kau berteriak. Si Puss menghentikan pekerjaan sorenya. Wajahnya yang menyenangkan berpaling ke arahmu dan ia berlari-lari kecil meloloskan badannya di kakimu yang telanjang di atas keset berlapis bulu tebal warna ungu.

Kau menatap si Puss tajam, seperti ingin menggamparnya habis-habisan.

Kau raih tubuh kucing kecil itu. Kau mengangkatnya seleher. Matamu, mata si Puss, beradu. Matamu melotot, mata si Puss tak berubah, tetap bersinar cemerlang. Kau letakkan si Puss di garasi belakang. Perlahan-lahan kau membersihkan bangkai daging koran-koran yang terserak itu. Nyaris tak ada halaman yang utuh. Tapi kau tak peduli. Bangkai koran itu kau masukkan di mulut liang samping rumah dan api pun kau sulit. Tak butuh 5 menit, bangkai koran itu sudah bersulih jadi abu.

Kau berpikir si Puss sahabatmu di rumah 3 x 3 m ini bukan monster pemusnah kertas yang menakutkan. Dua puluh menit beroperasi dengan cakarnya hanya menghadirkan buih-buih putih kecil. Monster ganas bagi kertas itu tetaplah api, air, juga kutu. Dan tentu saja watak manusia. Bukankah bangsa yang tak pernah peduli dengan ingatannya sendiri ini adalah monster pemusnah yang bersifat hirarkis, struktural, dan berkelanjutan?

Puss hanya ingin bermain. Koran-koran yang kau geletakkan di atas ubin dipandangnya sebagai mainan belaka. Mainan tanpa bau amis darah ketimbang bangkai tikus yang dua hari lalu diajaknya "bermain" di rerumputan kecil sebelum daging tikus berdarah-darah itu disikatnya hingga tandas yang membawanya ke alam tidur di siang mendung.

Tali exhaust fan kau tarik setelah kau menyelesaikan makan malam dan berbagi dengan Puss. Ruangan perlahan-lahan kembali segar. Udara kotor terlempar keluar melewati langit-langit tengah. Gorden vertical blind kau tarik penuh.

Kau menghela napas perlahan. Lima menit kau berada dalam sunyah dalam halimun bunyi yang jauh yang kau sekap dalam sedekapmu.

Di meja kerjamu, di samping perpus digitalmu "Library 2.U.", kau menyetel musik buddha bar dan menghidupkan akun twittermu dan menulis dua twit:

"Puss adalah kucing perpus digital. Ia pemusnah kertas yang lembut, pengeong yang ramah".

"Puss si Penghancur Kertas adalah sabda yang datang dari langit untuk mengingatkanmu agar jadilah manusia digital paripurna".   

Perpustakaan Dua Ubin (Fragmen Cerita)Where stories live. Discover now