# Percobaan Kedua
Buku puisi yang ganjil. Judul yang ganjil. Penyairnya pun ganjil. Masa paling bersinarnya di sepertiga akhir abad atom, sampai di peralihan abad, dan penyair itu belum meredup juga.
Kau baca pengumuman diskusi buku dari penyair yang sepertinya tahu cara membentengi medan kesadarannya dari kepikunan itu di halaman Facebook dengan disesaki tanda tanya.
Bukan. Bukan itu. Bukan itu yang menyesaki pikiranmu, tapi ujian kedua yang kauhadapi.
Pemusnahan dokumen fisik yang diam-diam tapi intensif kaulakukan di rumah 3 x 3 metermu itu hanyalah jangkar memperbaja pedalamanmu bahwa yang kaulakukan ini adalah benar. Terkadang kaubayangkan kau seperti aparatur negara yang paranoid terhadap isi buku, lalu merampas paksa buku itu, dan kemudian memusnahkannya.
Kau mengelak disamakan dengan algojo-algojo buku itu. Kau memusnahkan untuk sebuah keabadian yang lain. Terlalu banyak buku menumpuk jelas adalah penyakit. Ia mirip benda kimiawi yang kadaluwarsa di gudang tua yang dirembesi air hujan yang jika tak dimusnahkan akan menyebarkan penyakit tak tertanggungkan.
Vonis dokter menyadarkanmu bahwa debu yang diproduksi buku adalah virus yang bisa membekap napasmu. Kesakitan itu memperbaja semangatmu bahwa kau tak hanya menyingkirkan buku-buku yang menonggaki tubuh-tubuh buku itu dari ruang pribadimu, melainkan juga membasminya dari ingatanmu. Sebab memiliki buku serumah adalah pertanda jiwa yang sakit.
Lantaran itu kau bersihkan sebersih-bersihnya jiwamu dari tubuh-buku itu. Tiap hari mentalmu kau bentuk dengan mencabut roh-roh buku itu dengan perantaraan cahaya. Tiap hari ada tiga buku yang kaujagal di meja kecil berlapis kaca riben tebal. Lalu kau tampung roh-roh itu dalam perpustakaan dua ubinmu. Jalan terakhir yang kaulakukan adalah membakar bangkai buku itu di pinggir lapangan dekat kuburan ketika malam mulai pekat oleh gelap.
Memperbaja mental dengan melatihnya setiap hari membuatmu kehilangan rasa kasihan ketika sebuah buku kauletakkan di atas meja jagal. Buku apa pun itu, buku baru atau akuatik. Tanganmu makin terlatih. Perasaanmu makin membeku oleh dendam masa lalu. Kuli pelipis kirimu berkedut-kedut ketika tanganmu memegang pisau cutter yang berpipih tipis dan mengkilap itu. Dan tak lama kemudian, daging-daging buku itu berhamburan.
Kau yakin bahwa tindakan yang kau lakukan nyaris tiap hari ini adalah tindakan benar. Karena benar, maka penting untuk dibagi.
Ya, menjagal buku dalam kamar tertutup dan ruang terbuka tentu memiliki sensasi yang berbeda.
Jika di ruang tertutup musuhmu adalah dirimu sendiri, sementara di ruang terbuka musuhmu bisa berlapis-lapis dan tak terduga.
Bahwa pemusnahan dokumen adalah tindakan publik. Bahwa penghancuran data adalah sebuah tontonan. Enigma pemusnahan bisa menarik perdebatan dan menjadi prosedur bila tindakan itu diketahui publik. Pada saat seperti inilah tindakan penjagalanmu ini berubah menjadi tindakan ideologis. Atau sebaliknya bisa juga dianggap kehinaan dari seorang anak kecil yang merengek-rengek mengemiskan perhatian.
Diskusi buku puisi Museum Pemusnah Dokumen itu berada di kedai kopi tua yang dikelola komunitas yang juga sudah tua di depan persis sebuah bioskop yang juga usianya sudah hampir seabad. Kau memacu sepedamu ke sana sambil mencangklong sebuah tas kulit berisi peralatan jagal buku sederhana. Kau melewati 27 gang kecil di kampung-kampung kota selama dua jam tiga belas menit.
Mula-mula kau mencari toilet untuk bersalin pakaian yang basah oleh keringat. Kau basuh mukamu yang berdebu dan mengoleskan cairan parfum di beberapa bagian tubuhmu.
Kini kau tampak segar. Harum tubuhmu jelas tercium lembut, tidak mencolok, di antara hiruk-pikuk ruang diskusi. Ada beberapa penyair dan penulis esai yang kau kenal. Juga novelis. Selebihnya anonim. Jika bukan karena ayahmu yang memaksamu menyukai buku dan dokumen, barangkali kau tak pernah melihat pesta-pesta kecil seperti ini dan kau tetap akan terlempar dalam game-game yang memabukkan fantasi, harapan, petualangan dan animo menjadi seorang pemenang dan penakluk sebagaimana campuran antara semangat Colombus, Kubilai Khan, dan Napoleon.
YOU ARE READING
Perpustakaan Dua Ubin (Fragmen Cerita)
Genel KurguTentang seorang lelaki yang melatih diri sekuat-kuatnya menjadi manusia kota yang paripurna dengan ruang kota yang makin mahal tiap jengkalnya disertai serangkaian tuntutan gaya hidup sehat yang ditawarkan video-video internet. Tentang seorang...