Manusia sakit memiliki bengkel. Namanya bengkel sakit. Keberadaan bengkel sakit--juga bengkel pemberantas bodoh pikiran--bagi sebuah kota adalah lampu sorot penanda bahwa kota itu modern atau tidak. Tiadanya dua bengkel itu mengabsahkan cap kota itu masih berada dalam wilayah administratif Majapahit atau Mataram.
Di bengkel sakit tubuh manusia direparasi. Di sana montir-montir beruniform putih-putih lalu-lalang berpindah-pindah ruang menemui tubuh-tubuh lunglai, sedih, dan rusak tunadaya. Dengan sederet rekam arsip sakit tubuh-tubuh dinomori untuk mendapatkan peruntukan kamar sesuai kemampuan brankas ekonomi yang disimpannya dalam kantung.
Tubuh-tubuh itu dijejal dalam satuan angka di hall menunggu angka di tangannya dipanggil untuk menentukan di kamar mana ia menyetorkan tubuhnya; berhadapan dengan montir-montir di seberang meja dengan senyum memikat dan suara yang empuk. Di meja itu pula bercarik-carik kertas ditulis untuk menentukan benda kimiawi apa yang memasuki lambung.
Kertas kecil dengan tulisan yang nyaris tak bisa dibaca--hanya montir dan peracik zat kimia di ruang lain yang sudah saling mengerti--menuntun tubuh itu kembali ke hall, menunggu nomor tubuhnya dipanggil lewat pengeras suara yang ditanam di beberapa pojok plafon.
Jika uang cukup menukar racikan zat kimia yang dikonsumsi serupa kuliner berasa hambar dan kerap dijauhi, maka tubuh itu bisa berlalu. Berlalu menjauh sejauhnya dari bengkel sakit.
Demikianlah adikmu, sepupumu, ibumu, bapakmu bahkan kau sendiri menjalani ritual memasuki bengkel sakit itu yang membuatmu menghapal ritualnya sebaik kau menghapal dengan pasti berapa kali kau menggosok anusmu tiap pukul 5.50 pagi di kakus. Dari kanak hingga remaja. Bahkan kau dengan mudah dan lancar menyebut nama bengkel sakit dan juga letak kamar di mana keluargamu pernah menyerahkan dengan terpaksa tubuh-tubuh mereka.
Sejak saat itu, ketika usiamu merambat dewasa kau bersumpah untuk menjauhi sejauh-jauhnya bengkel sakit itu. Bukan lantaran bengkel itu terlalu sering dan banyak mengguncang brankas rumahmu. Bukan juga karena kau begitu jerih melihat ujung suntik yang tajam menyusup di celah-celah bulu halus permukaan kulitmu. Bukan! Kau hanya tak ingin mengenang kekasih dari cinta pertamamu yang keluar dari bengkel itu tinggal tubuh rebah tanpa sukma.
Dan setiap bengkel sakit, bagimu dan bagi yang lain-lain, menyimpan kesan berbeda dengan luka tubuh masing-masing yang tercatat dalam brankas arsip di ruang belakang berpendingin yang bersebelahan dengan kamar tubuh-tubuh anonim tanpa sukma.
* * *
Jika setiap sukma memiliki raga sebagai huniannya; jika tubuh sehat memiliki rumah tembok untuk berteduh dan berkembang biak baik masih kontrak, cicilan KPR, maupun hak milik; jika tubuh sakit memiliki bengkel fabrikasi spesial, maka buku pun mestinya demikian.
Buku, sudah lama sekali kauyakini, adalah organisme hidup. Buku yang sehat, baik kertas, daya ikat lem, maupun muka yang bening tanpa cakaran biasanya berumah dalam perpustakaan, khususnya di rak-rak depan yang isinya siap direngkuh pembaca dengan perantaraan petunjuk katalog daring. Buku yang lanjut usia/lansia memiliki rumah sendiri dengan perlakuan khusus: pendingin dengan suhu terukur, serbuk khusus penghalau makhluk suprakecil yang mengemil kertas-kertas usang, juga usapan jauh lebih lembut ketimbang buku dengan tubuh yang bugar.
Buku yang sakit memiliki rumah sendiri yang dijaga montir-montir buku. Tubuh buku disebut sakit--dengan gradasi kepsrahannya--bila wajahnya robek, lem pengikat terlepas, kertas dalamannya dikunyah rayap, megap-megap dalam tetesan air, hingga kulit dan dagingnya melepuh terbakar.
Bengkel buku sakit berbeda dengan rumah persalinan buku. Rumah yang terakhir menunjuk pada rumah-rumah produksi dengan modal tanpa batas atau rumah kecil di ujung gang sempit yang dikelola dengan senjata utama idealisme dan tak lebih dari itu. Rumah itu menjadi persalinan lahirnya beragam corak buku, terjemahan atau lokal, mutu baik tapi menjauh dari uang atau mutu pas-pasan tapi mendapatkan limpahan kapital, buku yang kehadirannya sudah ditakdirkan sebagai sang terpuji atau buku yang sejak orok sudah mendapatkan makian dan pemenjaraan.
YOU ARE READING
Perpustakaan Dua Ubin (Fragmen Cerita)
General FictionTentang seorang lelaki yang melatih diri sekuat-kuatnya menjadi manusia kota yang paripurna dengan ruang kota yang makin mahal tiap jengkalnya disertai serangkaian tuntutan gaya hidup sehat yang ditawarkan video-video internet. Tentang seorang...