Mara

53 3 0
                                    

     Claudia mengetuk pintu kamar sebelah kiri kamarnya. Ia ingat terakhir kali ia melihat ruangan dalam kamar itu hanya terisi sebuah dipan kosong dan kursi kayu, tanpa penghuni. Ia yakin, sebelum semua ini terjadi ia tidak punya adik.
     Claudia mengetuk pintu kamar itu, tidak ada jawaban, ia mengetuk lagi, kali ini lebih kencang, masih tidak ada jawaban.
     "Mara! Buka pintunya!" kali ini dirinya benar-benar jengkel. Ia tidak mau dipermainkan anak kecil yang sedang merajuk, ia tak mau kehilangan setiap momen berharga yang ia bisa habiskan bersama kedua orangtuanya. Tapi, ruangan itu masih senyap juga tanpa adanya sahutan dari dalam kamar. Claudia penasaran, ia meraih pegangan pintu, ia terkejut ketika ia menemukan pintu itu terbuka dengan mudahnya. Kenapa ia tadi repot-repot menggedornya seperti orang sinting? Pikirnya.
      Tidak ada siapa-siapa didalam kamar itu. Hanya sebuah ranjang, sebuah almari pakaian plastik tanggung dan satu set meja belajar. Bahkan kamar itu terlihat seperti bukan kamar miliki seseorang, satu-satunya benda yang dipajang disitu hanya sebuah jam weker kuning yang terus menerus berdetak.
     Claudia mengerutkan hidung, apa-apaan ini? Apa ia sedang dalam jebakan variety show? Pikirnya masam.  Lalu ia melihat ke jendela, jendela itu terbuka. Tirainya yang berupa sehelai kain putih tipis bergoyang-goyang dihembus angin.
     Claudia berjalan mendekat. Ia menyibak tirai itu. Pemandangan diluar jendela adalah sebuah taman yang luas, yang merupakan taman dari lahan-lahan para pemilik rumah di kompleks itu. Seorang bocah tampak duduk di atas genting tepat di sebelah kanan jendela yang terturup. Ia duduk dengan punggung bersandar pada tembok luar kamarnya, dan kepala menengadah ke atas seakan menantikan sesuatu jatuh dari langit.
     Claudia tak mengenal sama sekali bocah itu jika ia memang adiknya. "Mara?!" panggilnya. Bocah itu menoleh, terlihat sama bingungnya dengan dirinya.
     "Kau si Claudia?" tanya Mara, kedua alisnya naik keatas menyiratkan kebingunan.
     "Ya." jawab Claudia. Ada jeda sedetik sebelum ia bisa memproses kata-kata yang hendak ia tanyakan. "Kenapa kau disini?"
     Mara menoleh lagi kearahnya. "Apa maksudmu aku disini?"
     "Aku tidak pernah punya adik sebelumnya. Siapa kau?"
     "Lalu siapa kau?" Mara bertanya balik dengan hidung bersungut-sungut.
      "Aku Claudia-"
      "Aku Mara!"
      "Aku tahu!" bentak Claudia.         "Maksudku, kenapa kau ada disini? Aku yakin kau tidur diruangan ini, dan sekarang kau duduk disitu, mereka bilang kau adikku. Dan kau tahu kau bisa jatuh kapan saja kalau duduk disitu?"
     "Bukan urusanmu," Mara melengos, ia menyembunyikan kepalanya diantara kedua kakinya yang ditekuk.
      "Jawab aku, siapa sebenarnya kau?"
     Mara memalingkan pandangannya lagi kearah Claudia. Ia menyernyit, "Bukan siapa-siapa." ia mengedikan bahu. "Aku hanya satu bagian yang tak penting." jawabnya, lalu pandangannya tertuju pada sebuah pohon apel yang tumbuh diujung taman.
     Claudia meniru Mara, ia memandang kearah pohon apel itu juga. "Apa sebelum ini kau juga tidak tahu tentang aku? Sampai mereka memberi tahumu?" tanya Claudia. Mara mengangguk sambil terus menatap pohon apel seperti menatap satu-satunya harapan hidup yang tersisa.
     "Lalu dari mana kau datang?"
     "Ku rasa sama sepertimu." Sahut Mara.
     "Apa!?, kau juga dari kapsul waktu itu?"
     "Aku tidak tahu," Mara menggelengkan kepalanya dengan keras, "...kurasa aku hanya tidur , lalu aku bangun disini tiga hari yang lalu."
     "Dimana sebelumnya kau tidur?"
     "Di kereta."
     "Kereta?" Claudia bingung, apa maksud semua ini.
      "Ya."
      "Tapi mana mungkin-" kata-kata Claudia terhenti. 'Inikan ada dalam ingatanku, tapi kenapa-?'
     "Kau amnesia?" tiba-tiba pertanyaan itu muncul begitu saja dalam pikitmrannya.
     Mara menatapnya dengan sebal. "Tidak." jawabnya ketus.
     "Lalu bagaimana kau bisa berakhir disini!?"
     "Kubilang aku tidak tahu!" Mara balas berteriak, "Jangan tanyakan hal-hal yang aku tidak tahu, jangan tanya apapun. Lebih baik kau jelaskan apa saja yang kau tahu!", ia bersungut-sungut dengan lipatan-lipatan di hidungnya yang mengkerut semakin terlihat. Ia membuang pandangannya ke pohon apel tadi seperti melampiaskan kemarahan. "Kau tahu," terjadi keheningan, Mara menunduk lalu menengadah memandang langit. "Dari tiga hari yang lalu sejak aku bangun tadi pagi, hanya aku satu-satunya makhluk yang bergerak. Jika kau tak menghitung jam di kamar itu. Aku ketakutan, kupikir aku sudah mati atau dunia sudah kiamat." Ia menoleh ke Claudia, tatapannya mereka bertemu. "Sampai tiba-tiba kau datang kesini dan berteriak kepadaku."
      "Apa?" Claudia hendak tertawa, "Kau pasti ngelindur."
      "Lalu kenapa aku bisa ada disini?!"
      "Hei, kenapa kau tanya kepadaku?! Harusnya aku yang bertanya begitu!"
      "Ah! Sudahlah! Pergi saja kau!"
      "Beraninya kau berkata seperti itu!? Kau pikir kau siapa?"
      "Berhenti bertanya aku siapa?! Aku muak mendengarnya!"
      "Hah! Baiklah!" Claudia sudah hendak pergi ketika ia teringat dengan sarapan yang dibuat ibunya. "Eh, kau harus turun. Ibuku buat sarapan, dia bilang kau juga harus sarapan." ujarnya sambil cepat-cepat mengambil langkah seribu untuk pergi dari kamar itu.

    

    

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang