#3 - Toilet Depan Parkiran Kelas Sepuluh

7K 235 51
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Hari ini, pelajaran olahraga di kelasku telah selesai melakukan tes kebugaran jasmani. Rasanya capek sekali setelah berlari memutari lapangan bundar sebanyak sepuluh kali. Yang ada di pikiran kami semua hanya satu. Ingin segera menyegarkan badan dan mengisi tenaga yang sudah terpakai agar menjadi fresh lagi.

Ada yang menuju kantin untuk membeli minum, ada yang masih duduk-duduk di lapangan, dan ada juga yang langsung kembali ke kelas. Aku, Dinar Permatasari, salah satu dari mereka yang langsung kembali ke kelas.

Sambil mengobrol dengan teman-temanku tentang bagaimana hasil tes kebugaran jasmani tadi, kamipun berjalan menuju kelas X IPA 4 yang menjadi kelas kami. Suasana kelas masih lengang ketika kami masuk ke dalam. Mungkin teman-teman yang lain masih berada di kantin, pikirku.

Akupun berniat untuk berganti pakaian seragam putih abu-abu karena kurasakan bahwa seragam olahragaku sudah kotor dan basah karena terkena keringatku. Segera saja, kuambil perlengkapan kebersihan dan baju ganti di dalam tas lalu beranjak menuju ke deretan toilet di depan tempat parkir kelas sepuluh.

Biasanya aku hanya sesekali mengunakan toilet yang ada di situ karena toiletnya sangat sempit dan jarang dibersihkan. Namun karena aku sudah cukup kelelahan untuk berjalan menuju toilet yang ada di samping musholla, jadi mau tak mau aku harus menggunakan toilet itu.

Suasana pagi itu terasa sangat sunyi dari biasanya. Hanya terdapat sedikit riuh ramai dari beberapa kelas yang sedang berlangsung kegiatan belajar mengajar. Kurasakan perbedaan itu saat sedang berjalan menuju ke toilet. Akupun tak ambil pusing, toh tidak penting untuk kupikirkan.

Setelah sampai di deretan toilet, kudapati bahwa pintu toilet banyak yang tertutup. Otomatis dapat kusimpulkan bahwa di dalam ada yang sedang menggunakannya. Dengan langkah perlahan, kususuri satu demi satu toilet itu untuk mencari ruangan yang masih kosong. Dan akhirnya kudapati satu ruang yang tidak ada penggunanya.

Toilet itu berada di tengah-tengah deretan dan paling luas dari yang lain. Tanpa berpikir apapun, kubuka pintu toilet yang setengah terbuka dengan perlahan-lahan. Suara deritan yang dihasilkan pintu itu serasa memecah keheningan. Dan saat pintu toilet terbuka sepenuhnya, kurasakan angin dingin langsung menerpa bagian wajahku.

Setelah pintu toilet kututup dan kukunci, aku menggantungkan perlengkapan ganti di tembok dan mengambil facial wash di dalam kantung kresek yang kubawa. Suara mesin sanyo yang menyala tiba-tiba terdengar saat aku sedang mengusap wajahku. Akupun mencoba berpikir positif. Mungkin Pak Bon sedang menyalakannya saat ini.

Namun sedetik kemudian, aku merasakan kesunyian yang menurutku sama sekali tak wajar. Ini lebih dari sunyi. Aku tak bisa mendengarkan suara apapun. Dengan mata yang masih tertutup, aku mencoba meraba kantung kresek yang kugantungkan untuk mencari handuk kecil. Meskipun rasa takut sempat menggerayangiku, aku berusaha untuk menepisnya. 

Setelah handuk itu berada dalam genggamanku, segera kubersihkan wajahku yang tertutup oleh facial wash dan kubuka kedua mataku. Sontak aku merasa ketakutan setengah mati. Aku seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. Di depanku terdapat sesosok suster sedang memandikan seorang kakek-kakek yang berbaring di atas ranjang besi beroda. Bulu kudukku seketika menegang. Kakiku bergemetar hebat saat melihat pemandangan mengerikan yang ada di hadapanku.

Kulihat wajah suster itu penuh dengan darah. Ekspresinya kosong saat sedang menyiram kakek-kakek yang ada di atas ranjang itu dengan air. Aku mencoba untuk berteriak namun tak bisa. Tubuhku terpaku. Tak bisa digerakkan se-senti-pun.

Aku tiba-tiba teringat dengan cerita seram dari temanku. Bahwa, toilet yang kugunakan saat ini dulu memang digunakan sebagai tempat memandikan jenazah atau mayat saat sekolah ini masih menjadi Rumah Sakit pada zaman penjajahan Belanda.

Kukerjapkan mata berkali-kali. Memejamkannya kuat-kuat selama beberapa detik lalu membukanya kembali. Namun sosok itu tetap ada di hadapanku. Yang terjadi selanjutnya malah membuat ketakutanku semakin menjadi-jadi. Suster itu, berhenti menyiramkan air ke tubuh kakek itu dan mulai mendongakkan kepalanya ke atas secara perlahan. Lehernya berputar tiga ratus enam puluh derajat sambil menyeringai.

Aku merasa shock. Tak kuat berlama-lama melihat pemandangan mengerikan itu di hadapanku. Karena itulah aku menutup kedua mataku sekali lagi sambil membaca istighfar dan surat-surat pendek berkali-kali. Berharap agar kali ini, sosok itu bisa lenyap. 

Namun kemudian, hembusan nafas yang dingin dapat kurasakan berhembus pelan di leherku. Jantungku seketika berpacu cepat sekali. Kutelan ludah dengan susah payah karena tenggorokanku seakan tercekat. Pikiranku mulai membayangkan hal-hal yang mengerikan saat hembusan nafas masih bertengger menerpa leherku. 

Masih sambil membaca istighfar, aku mencoba memberanikan diri untuk membuka kedua mataku. Dan saat itulah aku merasa menyesal seumur hidup.

Aku merasa menyesal telah membuka mataku. Dengan ngeri, aku melihat sosok kakek itu─dengan wajah yang sudah membusuk─menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan tergontai sambil menirukan ucapan istighfar-ku.

"Astaghfirullah...Astaghfirullah...Astaghfirullah."

Akupun reflek berteriak keras. Dan sedetik kemudian kurasakan badanku menjadi lemas dan pandanganku mulai menggelap.



******************



Aku merasakan bau obat-obatan. Ketika mataku kubuka secara perlahan, aku mendapati ruangan bernuansa hijau di sekelilingku. Dan setelah kesadaranku mulai beranjak pulih, aku yakin bahwa aku berada di UKS saat ini.

"Loh, Din, kamu udah siuman. Kamu tadi kenapa pingsan di toilet?" tanya Febi sambil memegang lenganku, ia terlihat cemas dengan keadaanku.

Aku berpikir sejenak. Apabila kuceritakan yang barusan kualami di dalam toilet, mungkin Febi tidak akan percaya atau malah ketakutan. Jadi, kuputuskan untuk tidak kuceritakan kepada siapapun.

"Hmm, ngga apa-apa kok, Feb. Mungkin aku kecapekan setelah tes olahraga tadi," jawabku berbohong.

"Makanya lain kali kamu harus hati-hati. Minta ditemenin gitu kek kalau udah ngerasa ngga enakan..."

"Iya iya, Feb, makasih yaaa...."

Setelah Febi berlalu dari hadapanku, masih sedikit terbayang dalam benakku hal yang kualami di dalam toilet itu. Sempat merasa ngeri, namun aku juga sangat lega karena sudah tak melihat pemandangan menakutkan itu lagi.

Dari situlah aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa mulai detik ini aku tak akan pernah lagi menggunakan deretan toilet yang ada di depan tempat parkir kelas sepuluh itu. Tak akan pernah lagi!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

[ Jangan lupa kritik, saran, komentar, dan vote-nya ^^ Terimakasih~ ]

Next Chapter : #4 - Sumur Tua di Area Kelas Sepuluh

Bastyasaka's Thirteen Terrors [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang