Terkutuklah hari itu. Seperti biasa, kau terlambat pulang. Hari sudah terlalu sore, bahkan bisa disebut sudah malam. Orang-orang sudah turun dari Masjid usai solat magrib sore itu ketika kau membelokkan motormu masuk ke jalan yang membawamu masuk ke halaman rumah. Kau kaget. Ada banyak sekali orang di rumahmu, beberapa di antara mereka bahkan mengular keluar pintu rumah. Ada apa gerangan?
Kau bergegas memarkir sepeda motor dan jalan pelan mendekati pintu. 8 Orang di luar pintu melongok-longokkan kepala seolah ingin mengintip ke dalam rumah. Ada apa? Kamu bertanya ke Pak Ragi, tetanggamu.
"Kakekmu meninggal baru saja."
Astaga. Kau terkejut, kau segera menyibak mereka. Menerobos masuk sebisamu. Kau lihat ibumu menangis, bapakmu berdiri di ujung kasur yang digelar di ruangan tengah. Sesosok lelaku tua terbujur kaku di tengah. Lap berwana merah terendam di sebuah baki kecil brisi air dekat kepala kakekmu yang kaku.
"Dari mana saja kamu!" Bapakmu bertanya dengan nada yang sama sekali tidak enak didengar. Jika ditulis, mungkin tidak pakai tanda tanya, kalimatnya memakai tanda seru. Kamu dia saja, kamu mendekat ke arah kakekmu yang mati kaku.
"Seharian kakekmu menyebut namamu, ia ingin kamu di sini. Tapi kamu baru pulang sekarang."
Kamu diam saja. Perkataan ayahmu seperti itu sudah biasa kamu dengarkan. Ia kerap berbicara tidak enak saat emosi menguasai dirinya. Sekali lagi ia bertanya, tentu saja tidak pakai tanda tanya. "Dari mana kamu. Baru pulang sekolah jam segini."
Kamu masih diam. Kamu memandang wajah kakekmu yang mati beku. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Ibumu masih terisak di sebelah.
"Kakekmu mati. Kamu malah keluyuran. Kalau ditanya diam! Sebentar lagi pasti masuk kamar dan tidak peduli. Kaya sapi. Kalau sudah kenyang tidur..."
Telingamu mulai panas. Ocehan bapakmu masih terdengar. Ia seolah tidak peduli ada banyak orang yang bukan keluarga dekat ada di sekeliling mereka. Urat malu bapakmu memang kadang suka putus kalau sedang kecewa.
"Jadi anak kaya sapi. Makan dan tidar saja kerjamu!" Dan ia mengulangi sekali lagi bahwa kakekmu sudah mati. "Kakekmu sudah mati..."
Telingamu makin panas.
"Iya! Kakek memang sudah mati. Lalu mau apa?" Kali ini kau menimpali. "Kakek mati, aku bisa bikin dia hidup lagi?"
"Anak sapi! Kurang ajar."
"Aku kurang ajar. Memang kurang ajar. Kakek mati dan aku yang salah. Aku yang kurang ajar."
Bapakmu naik pitam, ia menarik kerah bajumu hingga kamu terpaksa berdiri berhadapan dengannya. Kau lihat matanya seolah membara, menyalakan api dari dasar neraka yang panas. Wajahnya seolah ikut terbakar, mulutnya seperti siap mengeluarkan api naga. "Kamu bilang apa!"
Kau memberanikan diri menatapnya. Kau keluarkan seluruh tatapan kebencian dari dirimu.
"Salahkan aku untuk semua yang hancur dalam hidupmu!" Kau kaget dengan jawabanmu. Kau kaget dengan pilihan katamu, bahkan kau kaget dengan katamu-mu yang kau pakai padanya. Tapi semua sudah telanjur, kau tak bisa mengulangnya. Kata yang keluar tak bisa kau tarik lagi. Tidak ada pengulangan waktu di dunia ini, sedetikpun tak ada.
Bapakmu mengamuk, dan melayangkan pukulan ke arah wajahmu. Kau tidak tinggal diam, kau tangkis segera dan kau balikkan tenaganya. Kau dorong bapakmu ke arah tembok. Tentu saja ia tidak mungkin tidak murka.
Durhaka! Kata-kata itu keluar dari mulutnya. Orang-orang dalam ruangan diam dan merasa tidak nyaman. Perlahan mereka seolah meundur beringsut keluar pintu. Sebagian kasak-kusuk saling berbisik.
"Anak durhaka kamu." Ayahmu menyerang kembali, seolah kau bukan anaknya, tapi copet yang tertangkap di pasar dan ingin melawan. Kau hanya menghidar dan menjauh darinya.
"Aku memang durhakan padamu. Aku tidak pernah benar. Bapak macam kamu tidak pantas dihormati!"
Sungguh, bapakmu sperti tersambar petir kiriman langit gelap.
"Minggat kau dari sini."
"Sudah lama memang aku ingin minggat. Sekarang waktu yang tepat. Mana ada manusia betah tinggal dalam neraka."
Kau dengar ibumu menjerit menangis. Ia menarik tangamu, menghalangi badanmu yang bergerak cepat ingin pergi. Ibumu menangis sekuat yang ia bisa. Melarangmu berkali-kali. Kau melihat wajahnya. Kau ingin memeluknya, tapi tidak mungkin. Bapakmu bahkan sudah menendang baki isi air itu ke arah kalian. Kau berlari segera keluar rumah. Menuju motormu dan melarikannya segera keluar rumah.
Masih kau denga suara bapakmu berteriak di dalam rumah. Membanting apa saja yang ada di dekatnya. Suara tangis ibumu tak bisa menghentikan apapun. Orang-orang seolah kaku bagai manekin di halaman rumah.
Anjing! katamu memaki. Rumah neraka ini harusnya hancur segera dan seisi rumahnya mati semua. Kau melarikan motor dengan ngebut di jalan raya. Kau merasa kepalamu terbakar, sekelilingmu terbakar. Kau merasakan air matamu hangat di pipi, terbang ditiup angin malam yang kau kutuk itu.
YOU ARE READING
Neraka Kecil: Selalu ada neraka bagi setiap laki-laki
PertualanganAda banyak dendam. Kau bisa menyimpannya atau menuntaskannya segera. Jika kau menyimpannya, ia akan tumbuh sebagai api. Terus menerus menyala. Jika kau ingat sesekali saja, ia akan membakar isi kepalamu. Ia membakar dadamu dan seluruh sendirimu. Mun...