"Lo emang hebat bener. Segitu dahsyatnya pengaruh Lo buat dia." Ujar Azka dengan pandangan tak percaya.
"Dia cuma ngerasa bersalah, bego. Dia nggak bener-bener sayang gue. Kalopun dia sayang gue, dia harusnya nggak akan pernah nabrak bahkan nyentuh mama." Ujar Steffy santai.
"Justru itu, kalo dia cuma ngerasa bersalah, dia nggak bakal segininya, stef. Lo kek nggak kenal dia aja. " Azka menatap Steffy yakin.
"Gue butuh waktu, ka." Jawab Steffy membuat Azka semakin jengah.
"Serah lo deh, stef. Cukup jangan lupa aja sama satu hal terpenting, Adriell dan putus asa nggak pernah pisah."[]
***
Seorang gadis berjalan di pinggir lapangan sebuah sekolah swasta di Jakarta. Dengan tas ransel kecil di punggungnya, Sapaan siswa-siswi yang menatapny, dibalasnya dengan senyuman atau dengan kata 'hai' pula.
"Steffy!!!" Teriak sebuah suara.
"Apaan sih, lo pagi-pagi udah bikin budeg aja." Jawab gadis itu sewot.
"Yee, woles ae neng. Eh, ada murid baru katanya tuh." Ujar Valleria dengan wajah bersemangat.
"Muka lo, duh, bisa gila gue lama-lama dikelilingi makhluk-makhluk kek kalian. Emang lo tau dia cewek apa cowok." Ucap Steffy sambil bergidik ngeri lalu melanjutkan perjalanannya menuju kelas.
Sesampainya di kelas, ia duduk di barisan kedua dari depan. Di kelasnya, murid diharuskan mengangkat kursi ke atas meja ketika pulang sekolah dan menurunkannya lagi ketika pelajaran akan di mulai agar memudahkan regu piket membersihkan kelas.
Pelajaran pertama dimulai. Ketika guru sedang menerangkan, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan masuk bersama seorang laki-laki berparas tampan. Tetapi, penampilannya terlihat urakan.
"Hai, gue Adriell. Adriell Cetta. Ex Garuda gading."
"Anjirr, itu Adriell? Anak band Pentastic? Gilaaa, aslinya ganteng banget ternyata." Bisik beberapa murid.
"Eh, hai. Nama lo siapa?" Tanya Adriell setelah duduk di kursi yang baru saja ditunjuk seorang guru yang berdiri di depan. Ia berkenalan dengan chairmate nya.
"Steffy."
"Oh, gue Adriell."
"Nggak usah ngulang, gue udah tau, kok."
***
"Steffy." Panggil Adriell.
"Hm."
"Gimana?"
"Apa?"
"Kamu. Masih perlu penjelasan gak? Perlu aku rekam, biar gak capek ngulang sampe kamu mau maafin aku?"
"Nggak. Gue masih bisa denger kok waktu itu. Gue juga masih punya otak buat inget itu." Ujar Steffy ngasal.
"Kamu bilang punya otak, harusnya bisa dong inget sifat aku, harusnya gak perlu dijelasin, kamu pasti ngerti. Harusnya kamu tau gimana situasi dan kondisi aku. Harusnya--" ucapan Adriell terpotong karena tatapannya bertemu dengan tatapan terluka Steffy.
"Kenapa?" Tanya Adriell.
"Kamu." Henti sejenak.
"Elo." Ralatnya.
"Gue nggak pernah nuntut lo buat ngerasain gimana jadi gue. Tapi, apa pernah lo mikir pake otak hebat lo itu, gimana perasaan gue. Harusnya elo. Lo yang harusnya bisa ngertiin gue. Disini, gue yang terpuruk. Disini, gue yang hancur. Tapi, dengan gampang lo bilang buat mikir pake otak supaya ngerti elo. Otak lo yang kemana?" ujar Steffy penuh emosi. Pertahanannya runtuh. Tangisnya perlahan pecah.
"Ma...af." cicit Adriell.
"Stay away from me. I.hate.you."
[]Dikit 😁😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Wrong?
Teen FictionSometimes, we don't have to give someone something twice. Sometimes, we don't have to struggle for someone. Sometimes, we don't have to sacrifice for someone. But, Am i wrong if i do it all?