6. Indonisías éthnos

114 5 0
                                    

I Indonisía eínai éna éthnos

Tak akan hilang tersapu angin,

Tak akan padam tersiram hujan,

Akan terus membara seperti lilitan api,

Indonesia,

pterygismós ítan pánta.

***

Maryam membawa nampannya dengan hati-hati ke ruang tamu. Delapan gelas berisikan teh tawar megepulkan puluhan gelombang uap, membuat Maryam sedikit gugup. Takut tiba-tiba nampannya itu tergelincir dari tangannya. Delapan orang yang memadati ruang tamunya termasuk ayahnya, membuat Maryam menghela napas. Mungkin sebentar lagi akan diadakan pertemuan rahasia yang kelima kalinya.

Dengan cekatan, Maryam meletakkan satu persatu gelas dari nampan ke meja ruang tamu. Para pemuda itu tersenyum, Maryam mengangguk lalu segera beranjak menuju kamarnya. Tidak baik terlalu lama bercakap dengan pria yang tidak terlalu dikenal, begitu kata ayahnya. Dan Maryam memilih untuk menuruti kata-kata ayahnya.

Siang sebentar lagi akan berganti menjadi sore. Maryam menatap dari jendela kayunya. Beberapa warga masih melaksanakan tugas masing-masing. Terlebih tugas itu diberikan oleh Tentara Inggris yang sekarang mendiami daerahnya itu. Untung saja, Maryam tidak disuruh melakukan hal yang aneh. Cukup berdiam diri di kamar, karena ayahnya yang akan mengurusnya. Walaupun seperti itu, kadang Maryam tidak tega melihat ayahnya harus bekerja atas suruhan Tentara Inggris keji itu.

"I zoí den eínai tóso ómorfo óso i elpída,"ujar Maryam lirih.

"Aku juga merasa perkataan kakak benar." Seorang anak kecil tiba-tiba berada di bawah jendela Maryam.

"Apa kau mengetahui apa yang aku bicarakan, sayang?"

"Tentu saja kak. Aku juga suka mempelajari bahasa itu."

"Oh ya?" Maryam tersenyum. Jarang sekali dia menemukan seseorang yang bisa berbahasa Yunani di sekelilingnya. Dan sekarang, seorang anak kecil mendatanginya, dan mengaku mengerti apa yang dia bicarakan. Sangat menakjubkan.

Maryam memang sudah mengusai bahasa Yunani sejak dirinya masih kecil. Kakeknya yang mengajarinya. Keluarganya juga sering menggunakan bahasa Yunani jika berada di dalam rumah. Walaupun bukan berarti Maryam tidak mencintai bahasa Indonesia, sungguh ia masih mencintainya.

Namun kakek Maryam sudah meninggal karena harus berperang melawan penjajah pada pertempuran beberapa tahun lalu. Sebenarnya itu membuat Maryam sangat terpukul, namun bagaimana lagi. Mungkin takdir kematian kakeknya sudah direncanakan oleh tuhan.

"Apakah kakak melamun?" Suara menyadarkan lamunan Maryam.

"Oh, maafkan aku. Apakah kau mau bermain ke rumahku?"

"Aku ingin. Tapi sayangnya aku tidak bisa kak. Pekerjaanku masih belum selesai. Aku tidak mau membuat marah Tentara Inggris itu untuk kesekian kalinya, walaupun melihatnya marah itu sangat mengasyikkan."

Maryam tertawa."Semangat ya, kita juga harus berjuang walaupun mungkin bukan dengan cara berperang."

Anak laki-laki yang baru dikenal Maryam itu menangguk. Memberi hormat kepada Maryam. Maryam ikut memberikan hormat balik, sebelum anak kecil itu berlari karena dipanggil oleh tuannya. Dan satu hal yang terlupakan, Maryam belum bertanya siapa namanya.

***

"Agonízontai gia na pethánei. Pethaínontas gia tin katapolémisi tis!!" Teriakan kencang ayahnya membuat Maryam terbangun. Pukul 5 pagi. Ada apakah gerangan?

"Ada apa, ayah?" Maryam buru-buru menghampiri ayahnya yang sudah berdiri di depan pintu.

"Kita harus menurunkan bendera itu dari Indonesia!" Ayahnya berlalu begitu saja. Membuat Maryam bingung tidak tahu harus apa. Ia mencegat para pemuda yang ternyata juga sudah berjalan menjauhi pemukiman.

"Tunggu! Ada apa ini? Mengapa kalian sudah keluar rumah pada jam ini? Ada apa sebenarnya?"

"Kami akan menurunkan bendera di atap Hotel Yamato, Nona."

Lalu sebelum mendengarkan lagi lebih lanjut, para pemuda itu juga sudah pergi meninggalkan Maryam. Maryam memutuskan sesuatu keputusan besar. Dia akan ikut

dalam kejadian ini. Dirinya tidak ingin tertinggal. Maka, diam-diam Maryam mengikuti langkah para pemuda itu menuju Hotel Yamato.

Suara serangga-serangga masih belum hilang sepanjang perjalanan Maryam mengikuti para pemuda yang berada 50 meter di depannya. Ia tidak ingin mengambil jarak terlalu dekat, karena takut jika seseorang mengetahui keberadaannya. Karena sebenarnya ayahnya pun sudah melarangnya untuk ikut pergi kemanapun ayahnya pergi. Takut terjadi sesuatu, kata ayahnya. Tetapi, saat ini Maryam tidak mendengarkan apapun yang sempat ayahnya katakan padanya. Dia hanya ingin ikut. Tidak lebih. Titik.

Para pemuda mulai menyerang hotel Yamato. Berjaga-jaga jika ada Tentara Inggris yang berada di dalam. Beberapa Tentara Inggris memang ada, tapi masih bisa dilawan oleh para pemuda itu. Bagaikan segerombolan semut, mereka menuju ke puncak gedung yang sudah tertanam bendera khas Belanda.

Maryam juga sebenarnya tidak terima. Ini masih Indonesia, belum menjadi Belanda. Tidak akan ia biarkan siapapun merampas haknya. Lalu dengan semangat empat lima ia mengikuti langkah para pemuda dengan mantap. Tidak ada keraguan. Menyala seperti obor.

Mengalami sedikit guncangan ketika beberapa Tentara Inggris berusaha melawan, tidak membuat para pemuda mundur sedikitpun. Dengan penuh usaha, mereka akhirnya bisa tiba di puncak hotel Yamato. Ayahnya, berdiri di barisan depan dengan gagah. Lalu merobek bagian biru dari bendera Belanda itu. Menyisakan bendera yang hanya berwarna merah dan putih. Para pemuda bersorak senang. Tidak mengetahui bahwa peristiwa selanjutnya akan merubah nasib mereka.

Maryam tersenyum. Tapi ini bukan waktunya.

G����o-�

Semangat JuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang