Day 2 Brain vs Heart

15 5 0
                                    


"Kau sudah menyetujui latihan ini, kau tidak bisa membatalkannya, Rose."

Kalimat ini masih terngiang di benaknya. Sambil berpikir, ia memperhatikan kaca jendela yang seingatnya terakhir dibuka seminggu yang lalu. Kemudian sarung bantal berwarna hijau pucat yang terasa berdebu, kemeja hitam yang belum dicuci dan masih tergantung di belakang pintu, dan terakhir, kaos favorit yang dipakainya saat itu entah sudah berapa hari.

Pintu kamar diketuk seorang pelayan wanita yang biasa mengantar makan siang. Suaranya yang familiar dan ramah membuat Rose spontan bangkit dari ranjang untuk membuka pintu.

"Makan siang untuk anak kesayangan," kata sang pelayan, tersenyum.

"Ugh, tolong jangan katakan itu lagi. Terima kasih makanannya," Rose menyambut seporsi daging asap dan salad dengan suka cita, "Mau menemaniku makan?"

"Maaf, kali ini tidak bisa, ada anak baru yang harus diurus, kasihan sekali, dia masih berumur tiga tahun."

"Baiklah, lain kali saja. Sampai jumpa." Sang pelayan pergi bersamaan dengan Rose menutup pintu. Ia segera melahap makan siangnya, karena menurut jadwal kegiatan, ada seseorang yang harus ditemui sebelum pukul empat sore.

***

Rose mengetuk pintu bercat hitam mengkilap di depannya Uap dingin keluar dari celah begitu pintu dibuka, tidak ada yang menyeramkan di ruangan itu kecuali suhu pendingin ruangan yang menunjukkan angka 16 derajat Celcius. Ia segera melaporkan persiapannya dan memastikan kembali hal apa saja yang harus dilakukan.

"Lakukan seperti biasa, cepat dan teliti, setelah itu aku akan memberimu reward lebih."

"Aku tidak perlu reward lebih apa pun, yang kubutuhkan hanya tempat tinggal, makan, dan pendidikan yang wajar." Katanya ketus.

"Jadi menurutmu selama ini pendidikan yang kau dapat tidak wajar? Begitu?" seseorang yang sejak tadi duduk menghadap jendela langsung berdiri dan berjalan mendekatinya.

"Ya, sangat tidak wajar. Kurasa di luar sana tidak ada anak umur sepuluh tahun yang sudah diajari untuk―"

"Cukup. Suatu saat kau akan berterima kasih atas apa yang sudah kuajarkan padamu selama ini. Sekarang berangkatlah. Jangan sampai kau kehilangan posisinya."

Tanpa menjawab apa-apa lagi, Rose meninggalkan ruangan, kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian dan membawa perlengkapan secukupnya. Tidak perlu takut, aku akan baik-baik saja, tidak perlu takut, pikirnya berkali-kali.

Lampu-lampu jalan sudah mulai menyala. Beberapa tentara terlihat berjaga di depan hotel, di depan salah satu supermarket, dan di depan kantor perhubungan. Di seberang sana ada sebuah cafe yang melebarkan tendanya hingga ke trotoar, mungkin karena gerimis dan banyak pelanggan yang datang.

Tak membutuhkan waktu lama, Rose melihat targetnya. Divisi Pelacak memang luar biasa, mereka bahkan bisa memprediksi bahwa target akan melewati lokasi ini! ―teriaknya dalam benak. Segera ia mengikuti arah target, ia akan melewati cafe yang ramai itu, dan menunggu hingga ia tiba di depan telepon umum agar tindakannya tidak terlalu mencolok.

Sesuai dengan deskripsi yang diberikan, target adalah seorang pria dengan tinggi sekitar 185 cm, berusia dua puluh-an, berjalan sedikit pincang yang mungkin adalah akibat saat melarikan diri dari kapal laut Mavi Marmara yang berlabuh di pelabuhan Laut Mediterania, seminggu yang lalu.

Rose mempercepat langkahnya ketika pria itu melewai telepon umum, menubruknya dengan sengaja hingga hampir terjatuh lalu menariknya masuk ke dalam ruang telepon umum. Pria itu terlihat sangat panik namun tak ada satu kata pun yang keluar.

30 Days of LiteratureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang