Day 1 Quatervois

37 4 0
                                    


Hari ini benar-benar kacau. Mulai dari kalkulator yang tertinggal, menyulitkanku saat ujian. Lapar di siang hari dan ternyata dompetku juga tertinggal, untungnya masih ada yang berbaik hati meminjamkan uangnya. Belum lagi teman-teman di kelas yang tanpa rasa bersalah menyalin laporanku, tanpa ucapan terima kasih. Baiklah, aku tak peduli lagi, yang penting malam ini aku harus puas!

Kulempar begitu saja sarung dan sajadahku ke atas kasur, lalu menghampiri smartphone di meja belajar. Tak perlu waktu lama, website favoritku sudah terbuka. Malam ini harus lebih nikmat dari malam yang lain, pikirku. Satu per satu foto pun kuteliti.

Foto pertama, aku dapat membayangkan dia yang berkilau di bawah penerangan, merah keemasan, aromanya yang dapat kuhirup dalam-dalam tanpa bosan. Dia sudah sering kucoba sebelumnya, namun waktu itu aku terburu-buru, karena hujan turun dan aku harus pulang saat itu juga. Tsk! Aku tak mau itu terulang lagi.

Foto kedua, yang ini tentu sudah pernah kucoba, namun tak sesering 'Dewi Merah Keemasan' itu. Dia sungguh kering, tak berkilau, bahkan kadang tak memiliki aroma. Namun yang membuatku heran, kenapa aku selalu teringat padanya? Apakah karena dia dapat dinikmati berkali-kali? Apakah aku mulai sadar kalau dia lebih spesial dari yang lain? Ini tidak boleh dibiarkan, keduanya adalah nikmat yang tak boleh didustakan, aku harus segera memutuskan mana yang harus kupilih malam ini.

Hanya satu orang yang dapat membantuku memutuskan.

Ibuku, memangnya siapa lagi?

Segera kutelpon beliau, nada sambung hanya bunyi beberapa kali, lalu diangkatnya.

"Ya, ada apa? Tumben malam-malam."

"Bu, bantu aku. Boleh, kan?"

"Ohh, seperti biasa ya? Memang budget kamu sekarang berapa, nak?"

"Cuma tujuh ratus lima puluh ribu. Belum gajian, masih nunggu dua hari lagi."

"Masih banyak dong! Ya terserah kamu, kalau ibu sarankan ya yang lebih murah saja. Kalau sudah gajian, baru deh yang mahal."

"Hmm, ok. Makasih, bu. Gak marah, kan?"

"Ya ampun. Ngapain juga ibu marah, nak? Ngerti, kok. Sudah dulu, ya. Ibu ngantuk. Hati-hati."

Dan pembicaraan kami terputus. Ibu benar, pilih yang murah saja. Tapi kalau dipikir lagi, aku juga dapat menikmati yang lebih nikmat, walau budgetku hampir tak bersisa nantinya, ya lebih mahal sedikit tak apa.

Segera kucari kontak tempat langgananku. Dengan teriakan gembira dalam hati karena akhirnya aku akan bertemu dengannya lagi. Simbol hijau kutekan, nada sambung pun dimulai,

"Selamat malam, dengan Rumah Makan Imam Bonjol," sapa seseorang di seberang sana.

"Mbak, saya pesan dendeng balado tiga porsi jumbo, ya. Antar ke kos saya yang biasa, hehe."

"Oh! Ini mas yang biasa langganan itu. Tiga porsi dendeng balado jumbo harga total enam ratus ribu. Estimasi waktu sampai dua puluh menit kemudian. Silahkan menunggu dan terima kasih."

"Ok. Sama-sama."

Akhirnya, makan dendeng lagi.


***



30 Days of Literature is a writing project that lasts for 30 days, in which participant allowed to write any kind of literature with different theme/topic each day. For further information contact ID line: michelle_ardia

30 Days of LiteratureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang