1. Cinta Itu Pilihan (a)

8.3K 575 90
                                    


1

Maya melirik Okta yang duduk dengan gelisah. Jemari tangan kiri anak lelaki itu membelai kaca jendela. Maju mundur, maju mundur. Kadang keringat mendecitkan gesekan telunjuknya. Ciiiiiet. Bahu Maya berjengit menahan ngilu. Sulit untuk tidak menoleh kepada Okta, meskipun keruwetan lalu lintas menuntutnya berkonsentrasi penuh.

Okta hanya menatap lurus. Dengan tangan kanan meremas-remas sudut tas kain. Sudut yang sama, yang sudah berlubang dua.

"Okta sayang, kamu sakit?" Maya mulai waspada. Ia tidak berharap anak itu menjawab. Ia yang harus menemukannya sendiri. Berhenti kurang dari semeter di belakang truk, mobilnya segera dikepung sepeda motor. Bahkan beberapa sepeda motor mulai menyelinap dari kiri ke kanan atau kanan ke kiri melalui celah sempit di depan.

Perhatian Maya kembali pada Okta. Anak itu kini menggoyang-goyangkan kaki, awalnya lambat lalu semakin cepat. Ya, Tuhan. Panik menyergapnya. Matanya liar memandang kanan-kiri jalan. Ia mempertimbangkan situasi. Pom bensin terdekat seratus meteran lagi, yang bisa berarti setengah jam lagi dengan kemacetan ini. Okta tidak bisa menunggu selama itu.

Begitu ada celah, Maya mulai mengarah ke kiri. Mendesak, merangsek, dan membuat pemandangan yang pasti lebih menyebalkan ketimbang manuver sepeda-sepeda motor tadi.

Okta menggoyangkan badan maju mundur sekarang.

Maya meliuk masuk, pindah jalur ke samping kiri truk, dan maju terus. Roda-roda kiri sudah menggilas jalan tanah.

"Septi, bantu Okta," katanya tanpa menoleh ke belakang.

"Ada apa? Dia kenapa?" tanya Keysha merecoki. Tak ada yang menjawab.

Dengan sudut mata, Maya melihat Septiani mendekat di belakang Okta. Lembut anak itu menyentuh bahu saudara kembarnya, menenangkan dengan bisikannya. Maya mendesah, kembali berfokus pada kemudi.

Pom bensin beberapa meter lagi, beberapa motor terlewati, lalu bebas hambatan. Sambil berbelok cepat, Maya membuka semua kaca jendela.

Dan Okta tak tertahankan lagi. Tanpa bunyi. Tapi....

Keysha menjerit. "EEEEWWW. Bau apa ini?! Hhhooeek!"

"Semuanya keluar, buka pintunya lebar-lebar!" seru Maya, menarik rem tangan dan mematikan mesin. Parkir tepat di depan toilet umum. Ia membuka pintu pengemudi, dan bergegas turun. Okta masih di posisinya. Kedua telapak tangan menelungkup pada dashboard.

Maya membukakan pintu untuk Okta. Mengharapkan yang terburuk.

Okta menoleh dan tersenyum polos. "Aku mau pup." Ia pun keluar tanpa dibujuk. Meninggalkan tas belahan jiwanya di kursi yang tak ternoda. Maya mengembuskan napas lega.

"Kalian tunggu di sini!" katanya pada Septiani dan Keysha, sambil menggandeng Okta menuju toilet wanita. Para wanita tak akan berkeberatan berbagi tempat dengan anak lelaki sembilan tahun. Tetapi Maya sangat berkeberatan memasuki toilet lelaki, kosong sekalipun.

"Okta hebat, bisa tahan selama itu!" katanya, membantu Okta sampai duduk nyaman, lalu buru-buru keluar.

Septiani bergegas menemuinya. Kegusaran menggelapkan wajah anak itu. Keysha memanggil-manggil, tak kalah marah.

"Ada apa?" tanya Maya enggan. Sudah cukup masalah siang ini tanpa ditambahi dua anak perempuan sembilan tahun yang saling berkeras rambutnya lebih panjang dari yang lain.

"Keysha memberi Okta kacang. Padahal dia tahu, Okta alergi kacang."

"Aku tidak memberinya kacang!" Keysha berteriak. Lalu buru-buru menyusul Septiani. Dengan dagu terangkat, ia menantang. "Okta mengambil sendiri kue moci dari kotak bekalku saat istirahat tadi."

Pangeran Bumi Kesatria Bulan (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang