three

1.7K 230 27
                                    

“Ancaman,” bisik Bethany. Bethany benar-benar diancam. Dewa kematian ini sungguh mengerikan dengan tatapan matanya, sayap yang bahkan lebih kasar dan lebih besar dari milik Harry, dan bibir yang senantiasa menyunggingkan senyum kasar dan menyeringai licik—cukup buruk jika digabungkan.

Bethany tidak selera melihat lasagna setengah—potongan, setengahnya benar-benar dibawa Harry. Bethany ingin tertawa melihat itu, tetapi ini bukan saatnya. Masih banyak yang perlu diselidiki, dan kau tahu—Harry bisa datang kapan saja. Tanpa Bethany panggil, dia sudah datang. Terkadang, Bethany bingung otak Harry terbuat dari apa. Maksudnya, dia tahu sebelumnya isinya memang otak, tapi saat berubah menjadi dewa kematian, apa itu tetap otak? Oh, maaf, kembali ke topik.

Bethany membereskan meja lipat dan mengembalikannya ke gudang pribadi kamarnya. Lalu dia kembali ke lantai bawah untuk mengembalikan piring. Dia berpapasan dengan ibunya ketika ibunya sedang menyusun piring dan gelas bekas makannya. Sedangkan Bethany sedang mencuci piringnya.

“Aku tahu ini sulit.” Ibunya memulai.

“Mom, sungguh. Aku minta maaf dengan itu.” kata Bethany, tidak berani menatap ibunya.

“Sekarang masalahnya bukan maaf; masalahnya pergi.”

“Bisakah kita tidak membahas itu? Tidak akan ada yang bisa tahu apakah Dad akan pulang atau tidak. Apakah dia akan pergi atau tinggal. Apakah dia akan memutuskan atau tidak sama sekali.”

Ibunya terdiam. “Maaf, Mom. Tidak bermaksud membentak. Jika kau tanya bagaimana perasaanku, pasti sama denganmu; terpukul. Aku minta maaf, tapi kita tinggal menunggu saja. Dad punya kebutuhan yang tidak bisa kita campuri. Dan maaf, mungkin aku mencampuri urusanmu, dan kebutuhanmu.”

Ibu Bethany datang kearahnya, memeluknya lembut. “Aku tahu kau coba membuatku tenang—faktanya, ya. Kau membuatku tenang.”

Bethany terkekeh pelan, lalu mereka melepaskan pelukan itu. Terdengar dramatis, memang, tapi ibu dan anak biasanya seperti itu, kan?

Bethany kembali ke kamarnya setelah itu, dia kembali berpapasan dengan foto yang dilihat Harry. Dia mengambil foto itu dan berbisik, “Seandainya kau ada disini, El, pasti aku tidak akan sebodoh ini terhadap Mom.” Katanya, sebelum beranjak ke lantai atas untuk kembali ke kamarnya.

Bethany kembali duduk di ranjangnya, menekuk kaki dan kembali termenung.

Bagaimana jika dewa kematian itu benar-benar membunuhnya jika Harry tiba-tiba meninggalkannya?

Bagaimana jika dewa kematian itu memanggil beberapa teman untuk membelanya?

“Kenapa aku yang diincar? Kenapa mereka tidak bisa membunuhku jika aku bersama Harry?” tanya Bethany kepada dirinya sendiri.

“Beth?” tanya ibunya dari luar pintu kamar Bethany yang tertutup, “Apa yang kau bicarakan?”

Bethany kalap, mencari alasan yang tepat susah karena isi otaknya sekarang hanya dewa kematian. Bethany akhirnya mengambil ponselnya, “A-Aku membaca cerita fiksi, Mom. Half-third-demon-blood.” dustanya.

Ibunya membuka pintu untuk memastikan apakah Bethany berbohong atau tidak.

Ibunya menaikkan sebelah alis ketika mendapati Bethany memegang ponsel, bukan sebuah buku. “Membaca, eh?”

“Mom, internet memang canggih.” sanggahnya, lalu tersenyum innocent(baca: tanpa dosa). Ibu Bethany mendesah pelan, “Nikmati bukunya, dan jangan tidur terlalu malam. Besok ada beberapa hal yang perlu kuurus, dan aku akan meninggalkanmu di rumah. Jangan menjadi tukang-mendengkur, Beth.”

roof >< h.s {completed}Where stories live. Discover now