Bethany kembali menuruni atap, menyusuri loteng, dan berjalan ke kamarnya. Dia bergegas menuju kamar mandi pribadinya.
Bethany kembali memikirkan Harry di sela mandinya, apa aku sudah mengambil keputusan yang salah? Aku mempertaruhkan nyawa demi kebebasan. Aku bahkan tidak mencintai ibuku sebanyak Harry mencintai ibunya. Aku bersyukur selama Sembilan belas tahun hidup bersama kasih dari ayah dan ibu—kurasa dalam waktu dekat hanya menjadi ‘ibu’ saja. Apa aku salah menaruh tanggung jawab?—tetapi, Harry orang, em maksudku dewa kematian, yang mudah dipercaya. Wajah damainya dengan senyum yang kuyakin tidak pernah mengempis, membuatku merasa lebih aman. Aku benar-benar mempercayakan hidupku padanya, batin Bethany.
Ketukan pintu keras dari pintu kamarnya membuat Bethany tersadar dari lamunannya. Bethany bergegas membasuh diri dan keluar dari kamar mandi dan seterusnya berpakaian.
Menurut Bethany, tidak ada yang perlu atau ingin dikesankan untuk sekarang; jadi dia hanya memakai training abu-abu dengan atasan t-shirt putih polos.
“Bethany! Makan malam!” teriak ibunya.
Bethany diam, berjalan ke tempat tidurnya dan menekuk kaki—seperti yang biasa dilakukannya di atap. Jika saja dia tidak takut kegelapan malam, kapanpun dia akan pergi ke atap rumahnya.
“Bethany!” teriak ibunya lebih keras. Bethany tidak mau turun ke lantai bawah untuk berkumpul di ruang makan, karena dia tahu, ayahnya tidak akan ada disana dan dia tidak mau membuat suasana lebih canggung. Tetapi, sama saja dia mengacuhkan ibunya jika tidak kebawah.
Bethany benar-benar dipenuhi dengan beragam pilihan aneh.
Bethany hanya melamun di kamarnya, padahal perutnya sudah bersuara. Bethany mendengar langkah kaki di selasar pintu kamarnya, Bethany yakin itu ibunya.
“Beth, sayang, makanan ada di ruang makan, makanlah lasagna yang kubuat. Aku tahu kau masih marah dengan semuanya. Aku ada di kamar jika kau butuh.” bisik ibunya.
Bethany menggeram dan membenamkan kepala di kakinya yang ditekuk. Bethany sungguh lapar, tapi perlakuan orangtuanya benar-benar membuatnya muak.
Bethany mendengar sesuatu di atas langit-langit kamarnya.
Bethany terkesiap dan mendongak, dan berlubanglah langit-langit kamar Bethany. Menampakkan puing-puing beberapa batako dan juga plafon langit-langit.
Bethany kembali menggeram, “Harry, aku punya pintu masuk.” katanya. Harry hanya tertawa, “Kau konyol, Harry.”
Harry membenarkan rambutnya yang agak berantakan dan sayap hitamnya melipat dengan sendirinya. Harry berjalan pelan ke Bethany yang meringkuk di bawah selimutnya, melipat kedua kakinya.
Harry duduk di sebelah Bethany, “Apa kau tidak lapar?” tanya Harry.
Bethany menggeleng, “Tidak, aku ingin mati kelaparan.” Ucapnya, serius wajahnya namun perkataannya konyol. Harry tertawa, “Baiklah kalau begitu,”
Harry mengepakkan sayapnya sepelan mungkin, tapi dia tetap membuat rambut Bethany berterbangan. Bethany memutar bola mata lalu memperhatikan Harry yang terbang secara perlahan menuju pintu kamarnya.
Harry berhenti mengepakkan sayap dan menyembunyikannya, Bethany bahkan bingung bagaimana caranya.
Harry membuka kunci pintu kamar Bethany, dan membuka pintunya, “Hei, apa yang kau lakukan? Ibuku bisa marah!” teriak Bethany(sepelan mungkin). Harry berbalik, menaikkan sebelah alis mata, “Uh? Tenanglah, ayahmu keluar dan ibumu dikamar. Oh, omong-omong, sepertinya makan malammu—lasagna—cocok di lidahku.” katanya,
Bethany terkekeh pelan. “Ambillah tiga!” teriaknya. Harry tersenyum dan mengangguk, seterusnya berlalu.
Harry memang dewa kematian, walau dewa kematian tidak makan—omong kosong orang-orang—tetapi faktanya mereka tetap makan.
YOU ARE READING
roof >< h.s {completed}
Fanficshe used to sat on the roof and pretend she's fall but she really falls for a reason; him. [FINISHED] [indonesian] amazing amazing trailer made by @xyeahlarryx!