Brum… brum…Terdengar suara sedan milik ayahku sedang memarkirkan diri di garasi rumah.
“Yah, mau bagaimana lagi, ayah sudah datang,” gumamku sambil menghela napas.Rasanya malam ini aku sedang tidak mood makan bersama, tapi mau bagaimana lagi, makan bersama adalah tradisi dalam keluarga Nakahara.
Sebenarnya bukan karena bosan terhadap masakan Ibu, tapi aku hanya kesal ketika harus makan malam bersama ayahku.
“Apa aku harus pura-pura tidur saja, ya?” gumamku lagi sambil membetulkan posisi tidurku dan mencoba memejamkan mata.
Aish, memang masih belum waktunya tidur, tak ada rasa mengantuk sepersen pun dimataku.
Hening dan suara jangkrik yang terdengar membuat pikiranku melayang ke beberapa arah, aku membayangkan bagaimana jadinya apabila ayah mengetahui hal ini.
Aku takut dan hampir gila memikirkannya, air mataku hampir setiap hari jatuh membasahi pelupuk mataku.
Aku membayangkan bagaimana reaksi ayah kalau ia tahu saat ujian penerimaan di Universitas Tokyo, aku tidak menghadirinya dan memilih untuk kabur mengikuti ujian di Yokohama Design College.
Memang, mimpiku selama ini adalah menjadi seorang mangaka atau animator.
Aku terinspirasi oleh Tite Kubo-sensei dan Adachi Mitsuru-sensei yang telah membuat manga dengan jalan cerita yang begitu hebatnya.
Mereka juga memiliki ciri khas penggambaran gesture yang menarik. Aku ingin menjadi mangaka seperti mereka.
Akan tetapi saat membayangkan mimpi itu bersama dengan bayangan raut wajah ayahku, kesedihan pun muncul.
Sebenarnya, aku hanya takut melihat ayah marah dan menamparku sama seperti saat nilai dan prestasi dikelasku turun.
Rasanya tamparannya begitu membekas di pipi.
Aku tahu, ayah hanya ingin aku menjadi orang sukses, tetapi bukankah setiap anak punya bakat mereka masing-masing? Aku tidak mau kehidupanku selalu diatur oleh ayah.
Aku tak mau menjadi seorang sarjana hukum dengan keadaan hukum yang tak pernah adil kepada masyarakat kecil. Aku tak ingin pula menjadi tokoh politik yang selalu bermuka dua.
Hukum bukan jalanku, dan aku benci kehidupan hukum yang hanya dimuka saja mengatakan “akan selalu mengayomi masyarakat kecil”, namun kenyataannya selalu meninggikan orang-orang yang memiliki jabatan.
Aku lebih senang memiliki pekerjaan yang terlepas dari hal berbau hukum dan politik. Sebenarnya hanya itu alasanku.
“Keichan, ayo makan, kau sedang apa di kamar?”
Suara Ibu yang begitu melengking membuyarkan lamunanku. Aku hanya bisa menghela nafas dengan berat,
“Hmm… kapan aku bisa membicarakan ini dengan kedua orang tuaku?” Gumamku sambil menaruh map coklat diatas meja.
“Oi! Keichan… Ayo turun, kau tidak lapar?” Teriak Ibu dengan suara yang melebihi volume pengeras suara home theater di rumah.
“Iyaa Ibu, Keita turun,”
Dengan tidak bersemangat aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang makan yang terletak di sebelah barat tangga.
Rumah kami memang tidak begitu besar, istilahnya rumah kami adalah rumah yang sederhana.
Hanya berukuran luas bangunan 36 m² dengan luas tanah 60m² beralaskan lantai kayu yang disusun rapi.
Dapur kami hanya seperlima ukuran luas rumah. Kamar tidur dan ruang keluarga ada di lantai atas, sedang kamar tamu ada di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGIVE ME AND THANKYOU
Ficção Adolescente"Sebuah cerita mengharu biru tentang apa arti kasih sayang yang sesungguhnya" ~Terbit Setiap Jum'at~ Cast : Kento Yamazaki Taishi Nakagawa