RAKA menatap makanan di depannya dengan tanpa minat. Bahkan untuk menyuapkan nasi barang sesendok pun dia enggan. Masalahnya, pagi ini ia akan dijemput oleh Papanya ke Bandung untuk mengikuti Ujian Nasional dan itu benar-benar membuatnya jengah.
"A, kenapa?"
Raka menggeleng dan tersenyum tipis pada Marina. Bukan tidak tahu, Marina tahu sejak perceraiannya dengan Wira--papanya Raka dan sejak Wira menikah lagi dengan bawahan di kantornya, Raka menjadi lebih pendiam bicara seperlunya saja dan menutup diri.
"Cuma sebulan, A."
Raka mengangkat kepalanya. Marina menatap Raka dengan nanar, ada kesedihan dari pancaran mata keibuannya. Melihat itu, membuat hati Raka pedih. Di balik senyum yang selalu ditampilkan Mamanya, Raka tahu, Mamanya adalah orang yang paling terluka atas pengkhianatan Papanya.
"Sebulan juga berasa setahun, Ma. Apalagi lihat wanita perebut itu mesra-mesraan dengan Papa. Aku muak, Ma," desisnya dengan penuh penekanan.
"Aa--,"
"Kenapa Papa harus bertemu dan menikah sama Mama, kalau akhirnya dia menyakiti Mama seperti ini," desis Raka pelan.
"Dan kamu juga nggak akan lahir, A."
"Gak papa, yang penting Mama nggak tersakiti kayak gini. Ngakunya cinta, kalau cinta kenapa juga harus menyakiti?"
"Mama gak papa, A. Hidup sama kamu aja udah bikin Mama bahagia."
"Bohong!" sanggah Raka cepat, "Berhenti seolah-olah Mama kuat. Mama yang terluka di sini, Mama yang jadi korban keserakahan Papa. Mama pikir aku nggak tahu kalau tiap malam Mama selalu nangis setelah pisah dengan Papa. Aku tahu, Ma. Aku juga sakit lihat Mama disakiti seperti ini. Dulu aku pikir gak ada laki-laki sesempurna Papa, kenyataannya Papa bahkan lebih brengsek dari seorang penjahat." Raka berdiri dan kembali ke kamarnya. Meninggalkan Marina yang menangis di meja makan.
Membanting tubuhnya ke kasur, Raka mengusap wajahnya kasar. Sadar jika ucapan juga nada bicaranya tadi menyakiti Mamanya. Tapi emosi menguasainya. Dulu, keluarganya nyaris sempurna. Dia tidak pernah kekurangan kasih sayang. Namun ternyata semuanya lenyap, sirna dalam sekejap. Raka pikir Papanya berbeda dari laki-laki lain, hanya setia dengan Mamanya. Ternyata sama saja, Papanya tega meninggalkan Mamanya dengan perempuan yang lebih muda dan cantik.
"A, papa udah datang."
Interupsi dari Marina membuat Raka menghela napas berat. Dengan terpaksa ia berdiri, menggendong travel bag berisi pakaian seragam dan pakaian rumah secukupnya.
Dari lantai atas ia melihat Wira berdiri dengan senyum mengembang. Seolah tidak merasa bersalah dengan semua kelakuannya.
"Udah siap, A?" tanya Wira.
Raka hanya mengangguk malas. Lebih memilih menghampiri Marina dan memeluknya erat. Menggumamkan maaf, karena nada bicaranya tadi pagi. Ada ketidakinginan dalam hatinya untuk meninggalkan wanita yang telah berjuang melahirkannya itu demi tinggal bersama lelaki yang telah mengkhianati Mamanya. Meskipun hanya satu bulan.
"Baik-baik ya, A. Jangan nakal, jangan bikin Papa marah. Sering-sering kasih kabar, Mama pasti akan kangen banget sama kamu."
Marina tidak pernah tinggal jauh dari Raka. Hanya ketika Raka study tour ke Jogja, atau ketika Raka ikut kegiatan kepramukaan dan camping. Itu juga tidak sampai seminggu.
"Mama juga jaga kesehatan. Jangan kerja yang berat-berat. Kalau ada apa-apa telepon aku.
"Iya, A. Udah itu Papa kamu udah nungguin."
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Friends [Seven Squad Series]
Teen Fiction(Sudah terbit di GagasMedia) Kamu terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri, mengabaikan dia yang sangat menyayangimu Yang selalu ada untukmu Yang selalu jadi tempat bersandarmu di kala gundah Yang kamu lupakan saat kamu bahagia Bagaimana jika cinta da...