8) Insiden Tak Terduga

43.2K 3.1K 122
                                    

BERTETANGGA, satu sekolah dan sekarang satu kelas. Tak cukupkah Tuhan menyiksanya? Yang tiap hari ketemu bisa bikin Raina uring-uringan, apalagi ini ketemu setiap detik, menit, jam. Arrgghh, benar-benar menyebalkan.

Satu kelas sama si Manusia Flat? Mohon siapa pun yang ada di dekat Raina, guncangkan tubuhnya agar dia bangun dari mimpi buruknya itu. Membayangkan kesehariannya di kelas, dengan adanya si Manusia Flat itu pasti kurang enak, kurang sedap.

"Eh Tenyom, lo mau ke mana sih? Sakit tau lo tarik-tarik muluk dari tadi. Coba aja yang nariknya cowok terus dibawa ke KUA, gue redo. Nah ini, elo yang narik gak ada manfaatnya."

"Berisik!" sembur Raina.

Raina terus menarik lengan Ghina mendekati lift. Sampai di depan pintu lift, Ghina menahan langkah Raina. Gadis berambut kriting panjang itu terheran-heran dengan tingkah Raina.

"Mau ke mana sih, Rain?"

"Ke ruang guru."

"Mau ngapain?" tanya Ghina semakin bingung.

Raina menekan tombol lift dan masuk diikuti Ghina. "Mau protes, kenapa gue gak sekelas sama lo dan malah sekelas sama si Manusia Flat, Raka."

"Raka? Siapa sih, Raka?" Ghina semakin tidak mengerti dengan ucapan Raina.

"Nanti gue ceritain, udah sekarang diem dan ikuti gue."

Raina itu bukan cuma mau protes karena tidak sekelas dengan Ghina. Kata Wakasek bidang kurikulum, yang berpidato saat masa orientasi. Dia dengan lantang mengatakan bahwa membagian kelas dilihat dari aspek nilai akademik dari para siswa ketika SMPnya. NEM serta nilai di ijazah itu sangat mempengaruhi.

Di Luzardi, jelas sudah sering didengar jika kelas IPA itu posisinya di atas kelas IPS. Secara tidak langsung berarti anak IPA nilai akademiknya lebih bagus. Sekarang masalahnya, di antara Raina dengan Ghina itu lebih cerdas Ghina. Walaupun kelakuan Ghina selebor dan pecicilan tetapi dalam segi kepala, Ghina lebih berisi dibanding Raina. Lantas kenapa Ghina masuk IPS dan Raina masuk IPA? Sangat tidak wajar, makanya Raina ingin sekali melakukan protes.

Raina sendiri berpikir, jika masalah ini ada sangkut pautnya dengan posisinya sebagai adik dari alumni Luzardi, kedua kakaknya dulu cukup terkenal dalam bidang masing-masing. Bahkan menjadi ketua OSIS dan kapten basket salah satunya. Dan hal lainnya, adalah posisinya sebagai putri dari salah satu donatur di Luzardi.

"Maaf, Pak. Tapi ini jelas salah. Seharusnya Bapak lebih bijak dalam membagi kelas, tidak pandang bulu seperti ini. Bukannya Bapak sendiri yang bilang, kalau akan membagi kelas secara rata dan adil sesuai potensi dan keahlian masing-masing yang dimiliki siswa. Tapi sekarang...," Raina menatap Pak Husni selaku Wakasek bidang kurikulum dengan raut heran.

"Saya di sini siswa biasa seperti teman-teman saya yang lain. Bukan sebagai adik Kak Arkan dan Kak Arsen. Dan bukan pula sebagai putri dari donatur di sini. Saya juga ingin diperlakukan seperti siswa lain," Raina menarik napas sejenak. Ghina yang duduk di sampingnya speechless melihat Raina yang biasa manja kini berubah menjadi pemberani.

"Bagaimana kalau ada kecaman yang mengatakan saya diperlakukan istimewa, padahal jelas-jelas nilai-nilai saya tidak terlalu istimewa. Bahkan lebih tinggi nilai Ghina dari pada saya," tandasnya.

Setelah cukup lama diam, hanya menyimak semua keluhan Raina. Pak Husni kini angkat bicara, "begini Raina, pembagian kelas ini bukan oleh saya sendiri tapi banyak guru yang lain juga terlibat. Saya sama sekali tidak melihat kamu sebagai putri dari Pak Reza atau pun adik dari Arsen juga Arkan, namun ada beberapa pertimbangan yang saya dan guru-guru lain sepakati. Jadi ini sudah menjadi keputusan bersama, dan saya mohon maaf karena tidak bisa mengubahnya lagi."

More Than Friends [Seven Squad Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang