SENJA menggantung di langit. Raina baru saja tiba di rumah setelah asyik bersepeda keliling komplek dengan teman-teman satu kompleknya sore itu. Turun dari sepedanya untuk membuka pintu gerbang, namun baru selangkah berjalan, sebuah benda menghantam sepedanya hingga terjungkal. Raina terlonjak, mengumpat pelan ketika melihat sebuah bola basket yang baru saja menjatuhkan sepedanya.
Dengan bibir yang terus berkomat-kamit mengucapkan sumpah serapah, Raina membangunkan kembali sepedanya lalu mengambil bola basket berwarna orange garis hitam yang teronggok di dekat sepedanya.
"Bola siapa sih ini?" berdecak, kepalanya celingukan ke kanan ke kiri mencari tahu siapa pemilik bola basket sialan yang berada di tangannya. Nihil tidak ada tanda-tanda sekelompok orang bermain basket, hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk saja ke dalam gerbang rumahnya dengan membawa bola basket itu.
"Sorry, itu bola punya gue!"
Langkah Raina terhenti dan berbalik badan. Di depannya berdiri seorang cowok memakai jersey basket tanpa lengan yang berhasil menampilkan warna kulitnya yang kuning langsat serta otot otot lengannya yang mulai jadi. Raina menyipitkan matanya, meneliti cowok di hadapannya dari atas sampai bawah.
"Punya lo?" tanya Raina sarkas, melempar bola yang berada di tangannya pada cowok itu.
Dengan sigap si cowok menangkapnya. "Iya. Kan tadi udah gue bilang!"
Raina mendengus. "Lain kali main basket tuh di lapangan!"
Cowok itu tidak merespon sama sekali. Lalu tanpa rasa bersalah melengos pergi begitu saja menyisakan Raina yang melongo dengan mulut terbuka.
"Belagu banget sih tuh cowok. Sok kecakepan, eooohhh!" gerutunya sambil meninjukan tangannya ke arah si cowok.
"Ehh?" Dia tercengang saat cowok itu memasuki gerbang rumah yang tepat berada di seberang rumahnya. "Tuh cowok tetangga gue? Sejak kapan?"
Raina mengendikkan bahunya berpikir kalau apapun yang berhubungan dengan cowok tadi tidak harus menjadi urusannya. Memutuskan untuk masuk rumah tanpa perlu repot memikirkan kenapa cowok tadi tinggal di seberang rumahnya. Siapa juga dia? Cuma cowok menyebalkan yang tidak tahu sopan santun. Tapi, Raina hanya tahu rumah seberang dulu hanya dihuni oleh dua orang suami istri yang sudah lanjut usia. Tetapi rumah itu sudah satu tahun terakhir kosong karena istri memilih pindah rumah setelah suaminya meninggal.
"Rain! Udah berapa kali Bunda bilang, kalau sepatu kotor jangan di pake ke dalam rumah!" omel Felly sambil berkacak pinggang menanti kedatangan Raina.
Raina menyengir kuda tanpa merasa bersalah. Ia membungkuk untuk melepas sepatu yang sudah meninggalkan jejak berwarna coklat yang bercecaran di lantai keramik putih rumahnya. "Hehe, lupa Bun."
Felly berdecak. "Bukan lupa tapi kebiasaan itu." Felly berjalan mendekati Raina dan menjewer telinga sang putri bungsu dengan gemas, sampai Raina mengaduh kesakitan. "Kalau dinasehati itu gak cuma didengerin tapi dilaksanain, jangan masuk telinga kanan keluar telinga kiri dong," Felly mengomeli Raina panjang lebar.
"Aa.. Aawww. Sakit Bun," Raina merajuk.
"Janji dulu sama Bunda, gak akan bantah lagi kalau dikasih tahu."
"Iya iya, Rain gak jan--aawww,"
Jeweran Felly semakin kencang. "Gak akan Bunda lepasin plus uang jajan Bunda potong!" ancam Felly.
"Yah Bunda," rajuknya memasang wajah memelas.
"Makanya janji dulu!"
"Iya iya, janji. Suwer tekewer-kewer."
KAMU SEDANG MEMBACA
More Than Friends [Seven Squad Series]
Fiksi Remaja(Sudah terbit di GagasMedia) Kamu terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri, mengabaikan dia yang sangat menyayangimu Yang selalu ada untukmu Yang selalu jadi tempat bersandarmu di kala gundah Yang kamu lupakan saat kamu bahagia Bagaimana jika cinta da...