Nara selalu tertawa. Nara selalu terlihat ceria. Orang-orang pikir Nara tidak pernah berduka.
Padahal, Nara sedang berpura-pura bahagia.
Sampai ia lupa cara melampiaskan luka.
.
.
Nara © Alulalyriss
Teen Fiction
Cr. Song and Video: Breathe - Lee Hi.
.
.
Suara benturan bola pada lapangan menjadi satu-satunya pemecah sunyi selain deru samar kendaraan di kejauhan. Udara malam begitu menusuk, terasa menembus setiap jengkal kulit Nara yang tak terbalut pakaian sampai ke tulang. Bercampur dengan panas yang timbul dari dalam tubuh sebab terlalu lama menggerakkan raga, berikut peluh pada kedua pelipis yang tak henti menetes.
Dan bodohnya, dalam cuaca yang membuat kebanyakan orang memilih bergelung di balik selimut itu, Nara hanya memakai kaos tipis sebatas lengan serta celana longgar. Kalau tidak demam, sudah pasti besok ia absen akibat masuk angin.
Satu lemparan tanpa tenaga. Bola jingga gagal menjangkau ring dan malah menggelinding ke arah yang berlawanan dari Nara. Seakan enggan kembali dipermainkan secara asal olehnya.
"Yah!" Serak dan parau. Nara merutuk, untunglah tidak ada siapa pun di sana hingga risiko suara menyedihkannya didengar orang lain jadi nihil.
Mata Nara mengikuti ke mana si bola jingga bergerak, lantas menatap nyalang seakan benda tersebut memiliki kesalahan besar terhadap hidupnya. "Bahkan kau juga menolakku?!" salaknya pada si bola tak berdosa.
Mendengus kesal, Nara menjatuhkan dirinya di lapangan komplek perumahan itu. Ia lantas merubah posisi dari berjongkok menjadi telentang. Niatnya ingin melihat bintang, yang menyambutnya malah gulungan awan hitam dengan langit berwarna serupa.
Sempurna. Bahkan alam menambah kelam malam menjengkelkannya.
Biasanya, di jam-jam seperti ini, ia sedang berkutat dengan serangkaian rumus di dalam kamar. Atau mengganggu teman-temannya di group chat dengan spam stiker dan rentetan kalimat tak berguna yang akan membuat mereka kesal.
Akan tetapi, biasanya.
Untuk hari ini, Nara bahkan enggan pulang ke rumah sama sekali. Yang akan menyambutnya di sana hanya sindiran ayah dan amarah ibu. Meski cukup sering menghadapi hal demikian, bukan berarti Nara akhirnya terbiasa.
Dalam sunyi yang menyusup berikutnya, Nara berpikir akan seperti apa dunia tanpa dirinya.
Astaga, baiklah, itu terlalu berlebihan. Mari perkecil areanya saja.
Akan seperti apa keluarga Nara tanpa dirinya? Bahagiakah? Senangkah? Banggakah? Atau bersedih?
Nara meragukan opsi terakhir. Ia lihat mereka cukup bahagia jika pun hanya memiliki satu putra. Toh, satu putra itulah yang selalu dibangga-banggakan dan teramat dicintai ibunya.
Yang selalu dielu-elukan dan dijadikan perbandingan ketika dirinya membuat sedikit saja kesalahan.
Mendesah agak dramatis, Nara mengumpat dalam hati. Nara hanya Nara. Bukan saudaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
Historia CortaMendekatlah, dan akan kuceritakan berbagai kisah tentang kehidupan. Mendekatlah, dan akan kukisahkan bermacam dongeng dari negeri penuh keajaiban. Mendekatlah, dan akan kusajikan beragam kalimat yang kadang kala terucap spontan. Maka mendekat...