Bintang Jatuh

200 10 3
                                    

"AKU MAU MENANGKAP BINTANG JATUH!"

Narayan berteriak ketika Paman Lim menanyai hendak ke mana ia terbirit-birit pergi. Bocah itu melintasi perkebunan dengan gesit, menyambar sapu terbangnya yang tergeletak di dekat pagar rumah tanpa memelankan langkah.

"Alasan! Kamu cuma mau kabur dari pelajaran astronomi, 'kan?!" Paman Lim balas meneriakinya dari saung di samping perkebunan. Teleskop sihirnya ia acung-acungkan ke arah si bocah. Jengkel luar biasa. "Kembali kemari! Kamu bakal jadi gedebok gosong kalau coba-coba!"

Namun, yang diteriaki sudah jauh meluncur pergi.

Narayan terantuk-antuk di udara, terbangnya kebanyakan oleng dan tidak mulus. Ia merasa seperti sedang naik mobil tua Paman Lim saat melalui jalanan berbatu di pelosok desa. Setelah berhasil menangkap bintang jatuh nanti, ia bakal meminta sapu terbang baru sebagai salah satu harapannya.

"Wuhuuu! Bintang jatuh, aku datang!"

Sewaktu tadi Paman Lim mengoceh soal perbintangan dan topiknya mendadak belok ke bagaimana cara melakukan penujuman, Narayan menengadah sambil menguap. Lalu tak sengaja melihat sebuah bintang sedang melorot jatuh dari tempatnya bertengger di awang-awang.

Bibi Mara pernah bilang, membuat permintaan saat bintang sedang jatuh itu penyimpangan yang salah besar. Mana sudi bintang mengabulkan harapanmu ketika ia sedang belingsatan terjun puluhan ribu kilometer cepatnya dari angkasa. Bintang baru mau mengabulkan permintaanmu jika kamu berhasil menangkapnya sebelum ia mendarat.

Mujur betul, pikir Narayan. Kebetulan ia sedang ingin Simulasi Duel Ujian Akhir Penyihir keluaran terbaru yang Paman Lim tidak mau belikan.

"Ayo, dong, Pu. Kejarnya yang cepat!" Narayan mengomel pada sapu terbang bobroknya, hadiah dari Bibi Mara saat ia berulang tahun yang ketujuh. Paman Lim mana mau mengeluarkan uang untuk membelikannya peralatan sihir yang menyenangkan begini, pria yang usianya sudah mencapai kepala empat itu cuma mau memberinya sesuatu yang membosankan; semacam kartu tarot atau bola ramal. Sudah dari kecil Narayan sadar Paman Lim itu pelit dan alergi pada keseruan, pantas saja Bibi Mara tidak menerimanya juga meski telah dilamar berkali-kali.

Narayan kembali berfokus pada bintang yang masih merosot bebas di kejauhan, makin lama cahayanya makin besar dan benderang. Meski rasanya sudah lebih dekat, kecepatan terbang sapunya tidak mampu menyusul bintang itu. Ia bersungut-sungut dengan kesal sembari memukuli si sapu supaya menambah laju.

"AAAAAAAAAAHHHHH!!!"

Sepertinya ia kena karma, karena mendadak saja sapunya memelesat secepat kilat. Tidak lagi bergoyang ke kiri-kanan, si sapu terbang lurus ke arah bintang. Narayan berpegangan erat pada gagang. Kendur sedikit, nyawanya bisa-bisa langsung melayang. Ia mencoba memelankan kecepatan kala cahaya bintang sudah tepat di depan mata. Tetapi, sapunya yang kepalang merajuk akibat dikata-katai enggan menuruti.

Pada satu momen singkat kemudian, ia dan si bintang sudah jatuh bertabrakan. Suara debam keras kejatuhan mereka rasanya bisa membangunkan seisi kota. Makanya Narayan pikir aneh sekali ia masih hidup setelah menabrak bola cahaya berkecepatan super itu. Tergeletak kesakitan seperti habis dilindas truk, memang, tetapi hidup.

Ia meringis sambil berdiri, lantas memekik panjang begitu melihat sapu terbangnya sedang dilalap api.

"PUPUUUUUU!" jeritnya nelangsa. "Oh, tidaaaak, sapuku yang malang! Sapuku satu-satunyaaaa!"

Narayan menggaruk-garuk kawah untuk melemparkan tanahnya pada si sapu, siapa tahu apinya bisa cepat padam dengan cara seperti itu.

Eh—tunggu.

Kawah...?

Wah! Rupanya mereka jatuh keras sekali sampai bisa menciptakan cekungan besar berbentuk mangkuk di tanah. Ketika memutar tubuh ke belakang untuk mengagumi keberuntungannya, Narayan melihat satu sosok bercahaya sedang duduk memandanginya. Ia menyipitkan mata karena silau, lalu menyemburkan kalimat pertama yang terlintas di otaknya, "Ih, anak cewek!"

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang