The Unfortunate Child

602 48 8
                                    

Alkisah, ada sebuah kota, penuh akan bahagia dan gembira. Debur ombak sebagai latarnya, berikut lantunan musik dan tawa.

Alangkah sempurna, kata mereka yang bertandang. Bagai hidup dalam utopia, bagi mereka yang menetap.

Suatu hari, kota diliputi ceria, akan tetapi, barangkali tak begitu kelihatannya.

.

.

The Unfortunate Child © Alulalyriss

Genre: Fanfiction, Fantasy.

.

.

Gelap. Gelap. Terlalu gelap. Selalu gelap.

Anak lelaki itu merapatkan diri pada dinding, suara rantai berderit di lantai digemakan ruangan yang sempit kala ia menyeret tubuh ringkihnya. Lebih dekat, kurang dekat, masih dingin.

Dindingnya tak membantu, dindingnya sedingin balok es. Ia menggigil.

Tangannya kebas, kakinya tak lagi dapat ia gerakan. Pergelangannya sakit dan besi dingin yang melingkari kulitnya semakin memperburuk, perih akibat terlalu sering tergesek, gatal oleh kotoran yang bersarang.

Sesak, tidak suka tempat ini, ingin keluar.

Napasnya berantakan.

Suara langkah dari lorong di balik pintu membuat atensinya teralih. Matanya mencari, bola mata bergerak ke sana kemari. Percuma. Retinanya tak menangkap cahaya.

Tuk ... Tuk ... Tuk ...

Begitu bunyi yang menelusup ke telinganya.

Tuk ... Tuk ... Tuk ...

Derapnya cepat, dientak di setiap langkah. Keras sekali, lalu sunyi.

Itu mereka ... itu pastilah mereka. Apa mereka membawa anak muda lagi? Ia bertanya-tanya, kali ini laki-laki atau perempuan? Kali ini, tatapan jijik atau kasihan? Kali ini, pergi atau tinggal?

Derit besi berkarat terdengar kemudian, bersama sinar remang yang mendadak menyerbu penglihatannya dalam sekejap. Cahayanya temaram, kuning dan jingga menerobos melalui jendela berjeruji di pintu besi. Namun, mata si anak lelaki terbiasa dengan gelap selama pikirannya dapat mengingat, hingga setitik sinar saja terasa membakar.

Kelopaknya dikerjap berulang kali. Satu, dua. Wajah seorang pria menyapanya di kerjap kelima, alis saling bertaut, sepasang iris menyorot muak. "Menjijikkan," sebuah desisan.

Bunyi berderit lagi, kali ini lubang di bagian bawah pintu terbuka. Dari baliknya, nampan ditendang kasar, cukup keras sampai membentur kaki telanjang anak itu. Ia lantas menunduk, menatap lapar pada sebongkah roti di atas nampan. Jelas sisa, barangkali dipungut dari tempat sampah, berjamur dan keras. Seperti biasa.

Mengabaikan lilitan perih di perut akibat lama tak diisi, ia kembali menyeret tubuhnya, kali ini mendekat ke arah pintu. Telapak tangan dan betisnya bersentuhan dengan tanah, basah, lembab. Lagi, ia sudah terbiasa.

"Keluar...." Tercekat, suaranya berbisik dan serak. "Ingin keluar."

Pria di balik pintu tampak sedikit terkejut, atau begitu yang ia pikir ia lihat. Tangannya kini sudah hampir mencapai pintu, sebelum terhenti dan ia merasa tercekik. Besinya. Rantainya. Lehernya. Sakit. Ia tak bisa bergerak lebih jauh.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang