Tak terasa Damar sudah terlalu besar untuk bermain Bunga Dandelion di pekarangan belakang rumahnya. Rumah sederhana berlantai kayu di sebuah desa yang masih asri terlihat sangat sunyi, bahkan ayam pun malas untuk membangunkan orang-orang pagi itu. Di pekarang, ia masih asik menikmati bunga-bunga dandelion yang bertebaran akibat sepoi-sepoi damai angin pagi. Sesekali Damar meniup lembut bunga-bunga yang tumbuh subur di sekitar rumahnya itu, dan sesekali pula ia memandang sekeliling berharap Sang Ayah yang amat dirindukannya datang lalu mengajaknya bermain 'Perang Dandelion'. Hal yang selalu ia lakukan dengan Sang Ayah setiap pagi dulu, sebelum kejadian itu.
Ya, kejadian yang membuatnya harus meringkuk ketakutan bila mengingatnya. Bahkan ia mengalami trauma berat akibat kejadian itu.
Pagi itu, seperti biasa Damar diajak ayahnya pergi ke pekarangan belakang rumah. Saat itu ia hanya seorang bocah polos berumur 8 tahun. Permainan 'perang dandelion' selalu menjadi rutinitas tiap pagi. Permainan yang menggunakan bunga dandelion lalu meniupnya hingga bertebaran, siapa yang bisa menebarkan bunga dandelion paling banyak dialah pemenangnya. Sangat sederhana, namun bagaimanapun itulah yang membuat Damar sangat menyukai Bunga Dandelion.
Saat mereka sedang asik bermain berdua, tiba-tiba saja dua orang pria bertubuh kekar mengenakan topeng menyerang Ayah Damar dan menyekap mulut Damar. Ditusuknya leher dan perut Ayah Damar sehingga darah mengalir begitu derasnya. Sang Ayah tergeletak lemah tak berdaya untuk melawan. Seketika hujan turun deras disertai petir, mengiringi tangis Damar saat melihat peristiwa tragis didepan matanya. Dua orang itu lalu pergi meninggalkan Damar, dan ayahnya yang penuh darah. Damar semakin tak kuasa menahan tangis melihat keadaan ayahnya, ia berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan.
"Mama.. Ayah ma, ayah.." teriak Damar dengan air mata yang semakin deras seperti hujan yang turun kala itu.
Seluruh luka tusukan Ayah Damar pun diguyur hujan, ia membisikkan sesuatu ke telinga Damar yang masih menangis itu. "Damar, jaga Mama. Jaga Mama selalu"! Lalu ayahnya tergeletak di pangkuan Damar yang semakin ketakutan. Ia guncangkan tubuh ayahnya namun tak ada respon. Ia sadar, Ayahnya sudah tiada.
Sejak itu, saat mendengar, melihat bahkan mencium bau hujan ia merasakan takut luar biasa. Seluruh celah di rumah harus tertutup rapat bila hujan. Trauma itu membuatnya merasa tersiksa. Ia sangat membenci hujan, karena hujan membuatnya ingat dengan kenangan kelam itu.
Kejadian itu membuatnya menderita Ombrophobia atau ketakutan berlebihan akan hujan.
Semenjak kejadian itu, ia mengurung diri di kamar dan menjadi sangat pendiam. Rumah yang kini hanya ditempati Damar dan Ibunya semakin sunyi dengan perubahan sikap Damar. Ia bahkan rela membolos sekolah apabila hujan turun. Hal itu yang membuatnya tak memiliki banyak teman.
Angin pagi masih menemani Damar yang asik memandangi dandelion di genggamannya. Terik matahari pagi pun menghangatkannya. Kicauan burung menjadi melodi indah bagi telinga siswa kelas 2 SMA itu.
"Damar, jam berapa ini? Kamu gak sekolah?" tanya ibunya dengan lembut.
"Iya, Ma. Bentar!"
...
Pagi itu seperti biasa ia menelusuri lorong sekolah sendirian. Dengan menggendong tas skaters biru tua miliknya yang tampak membosankan, ia berjalan tanpa peduli pandangan orang-orang yang menatapnya aneh. Ia sudah terbiasa seperti itu, bahkan sudah biasa dipanggil 'aneh'. Bel tanda masuk berbunyi. Damar mempercepat langkahnya menuju kelas.
Saat di kelas, Bu Endah, wali kelas di kelas Damar datang bersama seorang gadis yang tampak asing bagi Damar. Baju seragam yang dibalut rompi warna hitam membalut manis tubuhnya. Kaos kaki putih panjang beserta sepatu putih tak luput mempercantik kakinya. Tas yang ia kenakan pun tampak serasi dengannya. Ia terlihat begitu menarik!
"Silahkan perkenalkan diri kamu ke kawan-kawan barumu!" ucap Bu Endah ramah yang langsung disahut sorot mata sejuk dan senyum manis di bibir gadis itu.
"Selamat pagi! Perkenalkan nama saya Citra Andini. Saya siswi baru di kelas kalian, pindahan dari SMA 2. Semoga kita bisa saling berteman baik!"
------------------------------------------------------
(Selamat Membaca! Kritik dan saran dari teman-teman sangat dibutuhkan oleh penulis amatiran ini)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
Teen FictionAlasan aku benci hujan : Pertama, aku pernah kehilangan orang yang aku sayangi saat hujan. Kedua, aku bisa kehilangan Bunga Dandelion karena hujan. - Damario Seperti hujan, tak peduli apa kata mereka yang membenciku aku akan tetap hadir di jalanku...