9. WORLD OF STRANGER

7.4K 482 21
                                    

Gea

Rasanya aku mulai panik.

Siapa yang tidak panik jika saat ini seluruh pandanganku penuh dengan tamu-tamu yang sebagian besar tidak pernah kukenal. Mereka bergiliran memberiku selamat yang sampai saat ini masih juga tidak kumengerti untuk apa mereka menyelamatiku. Lalu di saat yang sama, kepalaku terasa berputar. Dengan mengenakan gaun pengantin yang perpaduan antara barat dan tradisional kebaya, aku merasa sesak dengan kenyataan bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah label semata. Dan semua orang menyelamatiku karena jatuh dalam perangkap sebuah pernikahan yang hanya didasarkan pada keuntungan dan kepentingan semata.

Aku merasa gagal dan merasa telah mengkhianati diriku sendiri.

Tapi aku membutuhkan ini. Paling tidak, Aksan mengatakan aku akan menjalani ini selama setahun saja. Jika ini sudah selesai, aku tidak lagi membusuk menjadi tukang rias di stasiun TV penuh orang bodoh seperti Rizka, atau playboy menyedihkan yang begitu mengagungkan cinta pertama seperti Aksan, yang sekarang secara hitam di atas putih adalah resmi sebagai suamiku.

Aku membuka pesan yang masuk ke ponselku. Ya bahkan di atas pelaminan ini, aku masih berani menggenggam ponsel yang kupikir cukup berguna untuk mengalihkan perhatian dari rasa takutku. Terlebih ketika beberapa pandangan orang yang kukenal tampak menatapku dengan tatapan heran. Tidak perlu kusebutkan bahwa papaku dan isteri barunya juga berada di antara tamu-tamu yang lain. Satu-satunya yang kusyukuri dari keadaan ini adalah, mamaku menolak hadir dalam acara resepsi pernikahanku. Bukannya aku bersyukur di hari penting seperti ini orangtuaku terlihat tidak kompak, hanya saja di antara orang lain, aku lebih tidak ingin menunjukkan betapa palsunya pernikahan ini di hadapan mamaku.

Pesan dari Jerry seketika kubaca

Lo cantik, Ge... tapi kayak robot yang dipaksa senyum. Kenapa, jeung? Aksan kagak bau terasi kan?

Aku sontak tertawa membaca pesan bernada candaan dari sahabat baikku yang kuanggap seperti saudara sendiri, karena ia banyak membantuku setelah aku menyesuaikan diri kembali dengan kehidupan di Indonesia. Air mataku menitik. Aku terlalu tegang hingga lupa caranya untuk tersenyum. Orang-orang mengira aku sedang berada di altar persembahan yang nyawanya akan dikorbankan, ketimbang di altar pernikahan. Dan tentu saja, aku tidak mau membuat mereka mengira-ngira kenapa aku tampak tidak bahagia. Aku melirik ke arah Jerry yang mengangkat segelas minuman ke arahku, seolah dia tengah bersulang untuk kebahagiaanku. Terbersit perasaan bersalah karena aku menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya pernikahan ini tidak lebih hanyalah sandiwara.

Tapi kuputuskan untuk bersikap wajar dan membalas Jerry dengan lambaian tangan.

"Taruh ponselmu, mereka nggak akan respek kalau pengantinnya sibuk dengan gadget ketimbang dengan pasangannya. Kita harus kelihatan mesra," seru Aksan sambil berbisik. Di saat seperti ini, ia kedengaran lebih cerewet ketimbang ibuku.

Aku mendesah, napasku mulai berat. Mungkin karena kebaya dengan model bustier ini terasa sesak dan ketat di dada. Berapa lama lagi sampai semua tamu ini pulang?

"Berapa banyak undangan yang disebar? Kenapa tamunya tidak juga berkurang?" tanyaku gelisah.

"Hanya lima ratus. Ah tidak, tujuh ratus? Entahlah, kamu pikir waktu sebulan cukup membuatku memikirkan siapa yang akan kuundang. Aku menyerahkan soal ini sepenuhnya pada wedding organizer."

"Bagus. Kalau semua urusan kamu serahkan ke mereka, mereka jelas memikirkan opsi yang lebih menguntungkan untuk mereka. Jumlah tamu yang banyak membutuhkan makanan yang lebih banyak, aula yang lebih luas dan dekorasi yang lebih rumit. Ini terlalu mewah untuk sebuah pernikahan sementara."

Aksan mendengus, "Tidak ada yang terlalu mewah untuk Aksan Rafardhan. Dan aku ingatkan kembali kalau kamu lupa. Tujuan pernikahan ini adalah untuk memberitahu banyak orang bahwa aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Sonya. Ya, aku butuh tamu-tamu ini untuk menyebarkan berita itu, dan media tentu saja," sahutnya sembari menunjuk pada serombongan kru dari salah satu stasiun TV yang paling terkenal menyiarkan berita gosip.

Melihat sorotan kamera yang tiba-tiba makin membuat perutku mulas.

"Senyum. Jangan perlihatkan tampang seperti akan disembelih," perintah Aksan sembari merangkul pundakku. Saat aku menatap pria itu, saat itulah aku memahami kenapa dia terkenal sangat profesional dan bertangan besi jika menyangkut urusan jurnalistik dan berita. Senyumnya benar-benar meyakinkan siapapun yang ada di tempat ini bahwa dia terlihat bahagia menikah denganku. Dan ajaibnya itu membuatku mengikuti apa yang dilakukannya.

Smile, seruku pada diri sendiri. Hingga kemudian aku merasa sangat konyol karena mau-maunya menerima tawaran Aksan untuk menggadaikan status lajangku demi pernikahan tak berarti semacam ini.

***bersambung***

MARRIAGE WITH BENEFITSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang