Part 3

31 4 0
                                    


***

Taktik 43(taktik terakhir) : menggunakan sihir hitam untuk mengutuk Arya agar jatuh hati pada Melati.

Sialnya aku tidak bisa segera mencoba taktik itu, karena terpaksa terjebak di botani untuk membersihkan dan membereskan tanaman sebagai nilai tambah untuk remedial ujian tengah semester PLH. Yang tugasnya itu sangat tidak logis dan sangat banyak hingga sampai akhir zaman pun tidak akan selesai-selesai. Aku membawa pot yang sudah ku bersihkan 4 kali agar mengkilap, yang sudah dipenuhi tanah lagi dan tampaknya melakukan hal yang sia-sia, ke sudut botani. Dan setelah ini aku akan segera pulang, membersihkan diriku sekitar 7 kali menggunakan segala macam rupa bunga, makan camilan, tidak peduli dengan berat badanku, menyalakan televisi sambil berbaring di kasur dan segera memulai langkah pertamaku untuk mengutuk Arya dengan mencobanya dulu kepada guru PLH yang memaksaku melakukan semua hal sia-sia ini. Aku menggembuskan napas panjang, lega sambil mengelap keringat di dahi dan leherku.

Tanpa membersihkan tanah di tangan, wajah dan baju putihku. Aku segera menenteng tasku dan berjalan keluar botani. Aku benar-benar berharap bisa terbang sekarang, aku sangat lelah. Hari ini tidak bisa menjadi lebih buruk lagi. Ketika aku berbelok di lorong, seketika aku kaget dan hormon reflekku segera menggerakan tubuhku untuk mundur lagi dan bersembunyi di balik dinding ketika melihat Melati berkata pada Arya, "aku suka kamu."

Hari ini baru saja menjadi lebih buruk lagi. Aku diam, tak bersuara mendengarkan mereka.

"Su-sudah sangat lama aku suka kamu. Dan ... kayaknya kamu juga tahu kan? Ar?" tanya Melati, gugup. Aku berani taruhan saat ini mukanya pasti memerah seperti tomat. Kesunyian menyelimuti mereka, entah apa yang terjadi sebelum Arya bertanya, "jadi kamu maunya aku gimana?"

Aku berteriak amat sangat kencang, dalam hati. Dasar si bego malah nanya pertanyaan idiot kayak gitu. Rasanya aku ingin langsung lari dan berteriak ke arahnya dan memukulnya hingga mati.

"Ya .. ga-ga mau apa-apa, cuma.." ucap Melati, kebingungan.

"Jadi apa gunanya kamu nyatain perasaan kamu ke aku, kalau ga ada tujuannya?"

Sumpahnya aku ingin mematahkan kaki Arya hingga ia tidak bisa jalan lagi.

"Ya, kalo gitu. Aku-aku ingin kita pacaran!" ujar Melati, langsung ke intinya.

"Kalau gitu," ucap Arya, perlahan. "Aku ga bisa."

"Kenapa!?" tanya Melati kaget. "Apa aku kurang bagus untuk jadi pacarmu? Apa kamu tidak ingin? Tidak boleh? Atau mungkin, kau suka orang lain?"

Seketika sunyi terdengar dari mereka sebelum Melati berkata dengan kaget, "jadi bener, kamu sudah suka sama orang lain ya.. siapa? Aku ingin tahu siapa. Apa dia orang yang aku kenal? Kasih tahu aku, Ar."

Jantungku berdegup lebih cepat daripada kepakan sayap lalat. Sangat cepat hingga jantungku berasap di dalam dan akan meledak. Aku berharap Arya tidak memberitahu Melati orang yang disukainya adalah aku, atau nanti akan terjadi perang dunia ke 3. Aku terus mengulang-ulang kata-kata itu dalam hati, berdo'a dengan perasaan benar-benar memohon.

"Mawar," dan akhirnya pun bom perang telah dijatuhkan. Aku tidak bisa melihat ekspresi Melati saat Arya mengeluarkan kata perangnya itu.

Namun aku tahu, Melati mulai terisak perlahan dan mulai menangis. Aku benar-benar merasa tidak enak. Seperti aku telah melakukan 10.000 dosa dan aku mengetahui semua dosaku itu.

"Kenapa harus Mawar?" Tanya Melati sambil menahan tangis, sebelum membentak, "Apa yang Mawar punya yang aku tidak punya?! Uang? Cantik? Pinter? Aku punya semuanya!"

Pertama kalinya aku mendengar Melati berteriak dan langsung diikuti dengan kesunyian yang tajam. Aku mengintip sedikit dan melihat Arya hanya membalikan badannya dan melangkah pergi.

"Jawab Ar," ucapan Melati menghentikan langkah kaki Arya. Arya menoleh ke belakang melalui bahunya yang lebar dan menjawab, "hati aku."

Kali ini ia benar-benar melangkah pergi meninggalkan Melati yang masih menangis terisak. Jantungku sudah tidak karuan, seluruh tubuhku seketika dingin dan lemas. Dan tanganku tidak bisa berhenti bergetar. Aku tak menyangka akan benar-benar menghancurkan Melati separah ini. Lagu kanak-kanak itu pun berubah menjadi mimpi buruk bagiku.

Tidak ada yang indah dalam Mawar dan Melati. Aku tidak tahu harus apa. Tapi, tidak menghampirinya selagi ia sedih dan berpura-pura tidak tahu, adalah tindakan yang sangat salah. Jadi aku mengambil napas panjang dan mengambil resiko yang besar, dan berjalan menghampiri Melati. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tapi aku mencoba menempelkan tanganku ke pundaknya dan mengelusnya perlahan sambil berkata, "hei, kau tidak apa-apa?"

"Maw, kamu nguping dari awal?" tanya Melati.

"Ah ga penting, kamu ga perlu tau itu," ucapku. "Tapi yang pasti kamu perlu tahu adalah aku yang ga mungkin suka sama dia. Aku membencinya, kan. Kalau pun dia ga nyebelin, aku ga mungkin kok suka ke dia. Kan dia udah jadi milikmu lebih dulu. Aku kan cuma karakter samping diceritamu, ya kan Mel?"

Pertanyaanku hanya dijawab dengan kesunyian dari Melati.

"Oh iya! Aku punya satu cara lagi untuk buat si Arya kampret itu biar ga inget aku dan suka sama kamu, Mel. Nama taktiknya adalah 'mengutuk Arya'. Keren kan?" ucapku sambil tertawa. Aku hanya ingin mencairkan suasana dan melihat senyum Melati.

"Lagi?" tanya Melati sambil menepis tangan kananku yang merangkulnya. "Jadi kamu udah tahu dari dulu?"

"Eh?" Aku bingung, apa maksud dari pertanyaan Melati.

"Kamu udah tahu dari dulu kalau Arya itu suka sama kamu?! Dan kamu ga ngasih tau aku!? Dan kamu ngerasa dia gabisa suka aku apa adanya?! Makanya kamu melakukan hal yang aneh akhir-akhir ini. Itu tuh taktik kamu biar Arya suka ke aku?!" Bentak Melati. Aku tidak bisa bergerak, dan benar-benar membeku. Ku pikir aku tak akan pernah melihat Melati membentak lagi. Apalagi kepadaku.

"Kenapa kamu maksain Arya biar suka sama aku, Maw!?" Bentak Melati sambil mendorongku. "Kenapa kamu rebut Arya dari aku!? Apa yang aku lakuin sampai kamu kayak gini! Aku kira kamu sahabat aku, Maw!" Melati terengah-engah. Masih menatapku tak percaya. Sama sekali bukan itu maksudku. Tapi aku tidak bisa berbicara. Lidahku tak mau bergerak dan rahangku terasa begitu kaku.

"Mel," saat aku berhasil mengeluarkan sepatah kata dan menjulurkan tanganku untuk menenangkan Melati. Dia mengagetkanku lagi. Dengan menepis tanganku lagi sambil membetak, "jangan temenin aku lagi! Aku ga butuh bantuan kamu."

Melati pergi. Aku masih bisa melihatnya tapi jarakku dengannya terasa sudah amat sangat jauh. Dan aku hanya bisa melihat Melati, yang semakin lama, semakin memudar.


Bersambung ... 

Mawar Dan MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang