1. A Dream

7.1K 374 99
                                    

Bulan sabit sedang bersinar cerah di langit. Sinarnya tidak berkurang meskipun awan-awan sesekali menutupinya. Ia bersinar sendiri. Bintang-bintang seperti enggan bersinar, bersembunyi di balik kegelapan pekat.

Jiwa-jiwa tertidur menimbulkan keheningan dan kedamaian yang fana. Bagi sebagian orang, keheningan dan kedamaian adalah harta karun. Luvena Daroll pun selalu menganggapnya begitu, tapi untuk pertama kalinya dalam hidup ia membenci keheningan damai. Keheningan malam hanyalah sebuah tabir dari kegelapan pekat yang mengancam jiwa.

Luvena memegang liontin batu tanzanite birunya dengan erat di dada. Ia dapat merasakan napasnya beradu dengan detakan jantung yang memukul-mukul sedari tadi. Gadis itu menelan saliva seraya melirik ke belakang lewat ekor matanya. Lalu dengan cepat Luvena mengalihkan pandangannya kembali.

Beberapa meter di belakangnya terdapat dua makhluk dengan bentuk tubuh yang tak lazim. Keduanya sama-sama memiliki kepala dan tubuh singa tapi ekor mereka berbentuk ular. Makhluk yang berada di kanan bahkan memiliki tanduk kambing dan sepasang sayap. Sedangkan makhluk yang satunya lagi memiliki satu kepala kambing tanpa sayap.

Luvena masih terengah-engah. Rasa letih belum lepas darinya. Padahal ia sudah berlari sejauh ini, tapi kedua makhluk itu tak juga pergi. Luvena tahu perbandingan kekuatan antara dia dan kedua makhluk itu sangat jauh. Oleh karena itu, ia tidak bisa melakukan tindakan gegabah dengan melawan keduanya.

Luvena dapat merasakan langkah kedua makhluk itu semakin mendekat. Dalam hati ia mengutuk semua penghuni rumah-rumah yang berada di sekitarnya. Sebelum dalam keadaan seperti ini, Luvena sudah sempat berteriak. Tapi tak ada satu pun reaksi. Lingkungan perumahannya begitu hening. Seakan rumah-rumah ini berbeda dimensi dengan dirinya hingga tak dapat mendengar suara yang ditimbulkan.

Pandangannya mengarah ke berbagai tempat dan berhenti saat ia menangkap sebilah kayu yang berada di samping kanan. Dengan napas yang masih terputus-putus, Luvena pun berjalan ke samping. Sebisa mungkin ia berjalan tanpa suara lalu dengan sigap ia meraih sebilah kayu itu.

Luvena menggigit bibir. Meskipun napasnya sudah berlangsung normal, namun irama jantungnya tetap memukul-mukul. Jelas jika ia ketakutan. Tangan kanannya menggenggam erat kayu sementara kedua kakinya berusaha keras untuk melangkah tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Luvena melirik ke belakang lewat ekor mata. Ia mengalihkan pandangannya kembali saat merasa aman. Kakinya melangkah tanpa suara ke arah tumpukan kotak-kotak kayu. Dengan cepat, ia pun langsung berjongkok di baliknya, bersembunyi di sana.

Tak lama kemudian, suara napas berat makhluk itu semakin dekat. Luvena langsung menutup mulutnya yang nyaris menjerit. Makhluk itu ... pasti sudah berada di mulut jalan.

Ia baru bisa menghembuskan napas lega ketika suara langkah makhluk itu menjauh. Luvena menengadahkan pandangan sejenak, berterima kasih kepada Tuhan sebelum ia berdiri dan memastikan keadaan. Lalu ia pun berjalan pelan menuju perempatan, Luvena memilih untuk belok ke kanan yang mengarah ke kota. Tubuhnya memutar ke kanan dan membeku.

Salah satu makhluk itu menunggunya di sana....

Tapi bagaimana bisa?!

Pikiran gadis itu berkecamuk. Dengan kalut, ia mengarahkan pandangan ke arah jalan yang ia lewati tadi dan mendapati makhluk yang satunya. Seraya menggenggam bilah kayu, Luvena mundur dengan teratur. Pandangannya mengawasi kedua makhluk itu dengan awas.

Luvena tidak memperkirakan hal ini. Ia tidak menyangka jika kedua makhluk itu juga cerdik. Dengan begini, hanya ada satu pilihan dan kesempatan baginya. Ia harus memilih untuk berlari ke jalan yang berada di belakangnya. Setelah menunggu kesempatan, akhirnya Luvena pun berbalik dan langsung berlari sekencang-kencangnya.

Beast HunterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang