4. Beaster

1.8K 193 38
                                    

Luvena hanya bisa mengikuti langkah Mona dengan patuh. Kejadian memalukan tadi sudah cukup untuk membuatnya kapok. Gadis itu sudah menarik kesimpulan bahwa Mona bukanlah gadis polos. Ia bahkan menyukai "permainan" yang tak biasa.

Bagi Luvena, mengelabui dan bertindak seolah bodoh saja sudah cukup untuk membuatnya mengerti. Mona tidak mudah dikelabui. Lagipula, Adrine--si hoodie itu memberitahunya untuk percaya. Jadi tidak ada alasan bagi Luvena untuk kembali bertingkah konyol dengan kabur.

Gadis itu benar-benar membisu. Dengan kepala tertunduk, otaknya malah sibuk bertanya-tanya. Akan seperti apa Josephine? Apa ia mirip dengan Mona yang penuh kejutan? Atau seperti Adrine, yang ia yakini baik dan menyebalkan di satu waktu? Luvena hanya bisa berdoa Josephine menerimanya dengan baik. Sepertinya itu sudah cukup.

Setelah beberapa lama, kedua gadis itu berhenti di depan sebuah pintu kayu. Tepat saat Mona hendak memutar kenop, Adrine datang dari koridor kanan. Ia terlihat lebih segar dengan kaus baru. Namun Luvena hanya bisa meliriknya sesaat dan tetap terdiam menahan malu.

Mona pun mendorong pintu. Lalu ketiganya masuk ke dalam ruangan kerja itu. Adrine langsung menghampiri kusen jendela. Dia malah duduk di sana seraya melihat ke dunia luar, tampak tak begitu acuh dengan keadaan di dalam ruangan ini.

Luvena sendiri tidak begitu memerhatikan ruangan. Dirinya fokus melihat ke depan. Di mana sebuah meja kerja kayu berdiri di sana. Tapi bukan meja itu pula yang ia perhatikan. Luvena memerhatikan kursi kerja yang posisinya membelakangi dia dan Mona. Terlihat bahwa ada seseorang yang duduk di sana.

"Ah kurasa begitu. Aku akan mengurusnya dulu--" suara lembut dengan nada tegas itu pasti berasal dari Josephine. Telunjuknya terarah kepada mereka berdua. Menunjukkan bahwa dia meminta waktu sebentar untuk menyelesaikan percakapannya dengan lawan bicara di telepon.

"Ya, semoga tidak begitu serius."

Luvena sedikit merasa bingung. Di zaman modern seperti sekarang ini, cukup mengejutkan baginya melihat telepon kabel masih digunakan. Sebenarnya telepon kabel memang belum terlihat begitu kuno. Tapi sekarang, biasanya orang akan langsung memilih menggunakan telepon genggam mereka, bukan?

Setelah Josephine menaruh gagang telepon ke tempatnya, kursi pun berputar seratus delapan puluh derajat. Barulah Luvena dapat melihat sosok Josephine.

Bayangannya mengenai seorang wanita paruh baya buyar sudah. Wanita yang berada di hadapan Luvena terlihat begitu muda untuk dianggap sebagai kepala keluarga. Caranya duduk begitu anggun. Hanya gores ketegasan pada raut wajahnya yang meyakinkan Luvena bahwa ia memang seorang kepala keluarga.

"Ah. Jadi kau sudah siuman," setelah memerhatikan Luvena sekilas, arah pandangan Josephine berpindah ke Mona. Ia tersenyum samar, "Terima kasih Mona dan mari, kita duduk di sana."

Tempat yang dimaksud Josephine adalah kursi-kursi yang tertata di dekat perapian. Kursi-kursi busa itu terlihat empuk dan nyaman. Mungkin Josephine ingin berbicara dengan kesan santai, bukan formal.

Luvena pun menurut. Tanpa bersuara ia menghampiri sebuah kursi busa besar. Saat ia mencoba untuk bersandar dengan posisi tegak, hanya ujung jari-jari kakinya saja yang dapat menyentuh karpet. Jelas jika kursi itu dibuat untuk seseorang yang lebih tinggi darinya.

Mona tidak ikut duduk. Ia berdiri di dekat kursi dengan diam lalu berkata, "Aku akan kembali dengan teh."

Josephine mengiyakan dengan anggukan sekali. Saat Mona melenggang pergi, Josephine baru menegur Adrine yang nyaris saja dilupakan Luvena. "Kau akan terus berada di situ, Adrine?"

"Ya. Aku mendengarkan," jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari dunia luar.

Josephine terlihat sudah terbiasa dengan sikap Adrine. Ia pun berdeham sesaat sebelum akhirnya memulai, "Ah jadi ... sebelumnya maaf karena telah membuatmu bingung. Selamat datang di rumah kami. Namaku adalah Josephine Everard dan tolong panggil aku Josephine saja."

Beast HunterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang